#18. To Keep Your Smile[Sena POV]

62.8K 4.9K 404
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul dua malam, kami masih setia duduk di luar ruangan karena tidak boleh masuk ke dalamnya. Pemindahan kamar belum bisa dilakukan, mungkin nanti. 

"Papa pulang dulu," kata Papaku. Aku mengangguk tanpa menatapnya. "Kamu juga sebaiknya istirahat," sambungnya lagi. Aku menggeleng. 

"Yasudah, besok kami balik lagi ya." kata Mama Dera. Aku mengangguk. Mereka pun berlalu setelah berpamitan juga dengan mertuaku yang masih setia di sini. 

Tubuhku sebenarnya sedang duduk di lorong ini, tapi pikiranku melayang jauh. Diriku yang lain tidak sedang di sini, diriku jauh dari tempatnya, sedang mencari dimana sebuah ketenangan yang hilang begitu saja. Rasanya baru tadi aku mendengar Kena tertawa, baru tadi senyum manisnya kulihat, tapi sekarang musibah ini langsung merenggut semuanya begitu saja. 

Sunyi nan senyap begitu terasa, malam penjelang pagi dibawa oleh angin-angin dingin yang menusuk kulit. Bau obat-obatan begitu tercium menyengat. Detik jam berdenting melantunkan perpindahan waktu dengan irama yang konstan. 

"Sena... Kamu minum dulu." Mama Lili menyerahkan sebotol air mineral kepadaku. Aku menerima itu. Langsung aku buka tutupnya dan meneguk habis air mineral seperti unta kehausan. Jantungku normal kembali sehingga aku bisa sedikit tenang. 

Mungkin aku bisa memejamkan mata sebentar. Kusandarkan kepala di tembok hingga perlahan menutup mata. 

***

Kumandang adzan Subuh membangunkan yang tertidur. Mataku mengerjap sebentar lalu menghela nafas panjang. Sekeliling sudah sepi, hanya ada aku yang duduk. Mertuaku kemana? Entahlah. Mungkin pulang. 

Setelah beberapa detik mengumpulkan nyawa, aku melangkah ke masjid untuk menunaikan salat subuh. Suasana rumah sakit sangat sepi, derap kakiku sudah lebih dari cukup untuk membisingkan keadaan sekitar. Sampai di masjid aku mengambil air wudhu yang dingin, lalu menunaikan salat berjamaah. 

Sedikit berdzikir meminta kepada Tuhanku untuk kesembuhan Kena. Agar besok keadaannya membaik. 

Selesai beribadah, aku duduk sebentar di taman rumah sakit yang menghadap langsung ke lorong rumah sakit. Duduk di salah satu kursinya, mencoba membaur bersama pagi dan kesunyiannya. 

"Gue kira lo dimana." Suara itu mengganggu ketenanganku. Aku menoleh, ternyata Danis. Dia langsung duduk di sampingku tanpa harus aku suruh. 

"Ponsel lo gak aktif dari tadi, jadi gue tahu ada yang gak beres. Gue ke rumah lo gak ada orang, akhirnya gue hubungin bokap lo dan ternyata lo di sini. Gue ikut bersedih," jelasnya. 

"Gue cuma gak mau kehilangan istri gue." Sepertinya aku ngelantur. 

"Lo gak bakal kehilangan dia. Kena pasti bakal sadar," katanya. 

"Kayaknya gue bakal off dulu. Mau stand by di sini."

"Iya, udah seharusnya gitu. Kena prioritas utama, kan?"

"Iya."

"Jangan sungkan kalo minta bantuan atau mau ngerepotin orang. Gue selalu bisa."

"Makasih, handel aja. Seluruh panggilan bakal gue alihin ke elo. Report perusahaan juga lo yang cek."

"Beres." 

Syukurlah, otakku tidak perlu lagi bercabang memikirkaan kerjaan karena ada Danis. Sekarang aku harus benar-benar fokus dengan Kena. 

"Kata dokter dia kenapa?" tanyanya membuatku enggan menjawab. Bukan tidak ingin ngasih tahu, tapi mengingatnya saja sudah membuatku hancur. Kami pun saling terdiam, bibirku tetap terkatup rapat. 

If I Can't Pregnant [TELAH DITERBITKAN!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang