"Baik, saya segera ke sana."

"Terima kasih, saya tunggu kedatangan Anda."

Klik. Komunikasi itu pun terputus. Lelaki itu mengambil kaca mata hitamnya. Lalu mengenakannya. Ia pun berjalan ke arah mobilnya. Mobil sport berwarna biru tosca melesat melewati jalanan ibu kota.

Setengah jam kemudian...

Mobil sport biru tosca memasuki area SMA Budi Harapan. Pemiliknya turun dari mobil, lalu berjalan ke arah ruang informasi. Saat ini sepertinya sedang waktu istirahat. Sebab banyak siswa-siswi yang berada di koridor kelas. Mata semua gadis SMA Budi Harapan tidak berkedip melihat lelaki itu berjalan.

Lelaki dengan jas hitam. Tubuh proporsional. Tinggi dan berisi. Tapi, siapa yang tahu apa yang ada dibalik jas hitamnya itu. Ia berjalan dengan langkah pelan, tapi pasti. Terlihat seperti seorang model tampan yang sedang berjalan di catwalk. Lelaki itu menurunkan sedikit kacamata hitamnya hingga menggantung di hidung mancungnya. Ia melihat seorang gadis sedang berdiri di depan ruang Kepala Sekolah. Gadis itu tersenyum sambil melambaikan tangannya. Lelaki itu hanya melewatinya begitu saja. Lalu masuk ke ruang Kepala Sekolah.

"Selamat siang, Pak. Saya wali dari Yuki Cameron," lelaki itu mengulurkan tangannya. Seorang lelaki paruh baya melihat lelaki muda di hadapannya dari ujung kaki hitidak ujung kepala. Sepertinya lelaki ini pengusaha muda. Terlihat begitu rapi dan berkarisma.

"Terima kasih Anda sudah memenuhi panggilan saya. Silahkan duduk Pak..."

"Alfarel Natshee."

"Baik, Pak Al. Silahkan duduk," Al duduk di hadapan Kepala Sekolah. Ia memandang keseriusan wajah lelaki paruh baya itu dari balik kacamata hitamnya.

"Oh, maaf..." ucap Al seraya melepas kacamata hitamnya.

"Tidak masalah. Begini, ada yang sesuatu yang ingin saya sampaikan pada Pak Al selaku wali dari Yuki Cameron. Menurut berita yang saya terima, Yuki membuat onar di sekolah pagi ini. Dia memukul salah seorang temannya hingga babak belur. Jujur, saya sangat tidak suka dengan kekerasan."

"Maaf atas perilaku Yuki yang kurang baik itu, Pak. Tapi, apa Anda yakin kalau Yuki yang memulainya lebih dulu?" tanya Al. Kepala Sekolah itu terlihat geragapan. Al menyipitkan matanya, menyelidik.

"Semua orang melihatnya. Yuki memukul Boni di hadapan anak-anak yang lainnya. Sebenarnya saya tidak percaya, tapi saya lihat sendiri kondisi Boni. Dia benar-benar babak belur. Beruntung kedua orangtuanya tidak menuntut kasus ini ke polisi. Kalau sampai itu terjadi, maka sekolah ini akan tercemar." Al terdiam sejenak.

"Lalu apa kebijakan Anda?" tanya Al kemudian.

"Kami dengan terpaksa mengeluarkan Yuki dari sekolah ini,"

"Sudah aku duga," gerutu Al.

"Apa?" tanya Kepala Sekolah.

"Tidak. Baik, saya akan terima keputusan Anda. Tapi, sebelumnya saya ingin bertemu dengan korban kekerasan yang dilakukan Yuki."

"Tentu,"

Kepala Sekolah itu berjalan keluar. Tak lama kemudian, ia datang bersama Boni. Boni datang benar-benar dengan keadaan yang mengenaskan. Seluruh wajahnya lebam-lebam. Baju seragamnya sedikit sobek di bagian lengan. Al menaikkan sebelah alisnya. Hampir ia tertawa pecah melihat penampilan anak itu sekarang.

"Ini Boni. Anda bisa lihat keadaan anak ini. Sungguh kasihan bukan?"

Al tersenyum kecil. Ia berdiri dari duduknya, lalu berjalan pelan dan berdiri di hadapan Boni. Memperhatikan wajah lebam Boni dengan lekat. Tiba-tiba sudut mata Al menangkap sesuatu. Seorang gadis, Yuki sedang mengintip di balik tembok. Ia melambaikan tangannya sambil mulutnya komat-kamit tanpa bersuara.

My Lovely Agent || Mission of LoveWhere stories live. Discover now