7. This Is It?

9.9K 850 91
                                    

"Jadi selama gue pergi, lo sering ke rumah Arly?"

Aku mengangkat kepala, menatap sekilas. Kupikir dia sudah lupa tak akan tanya-tanya lagi setelah beberapa kali berhasil dibelokkan pertanyaannya. Aku memperhatikan wajahnya, tak ada cengiran konyol atau senyum cabul seperti yang biasanya diperlihatkan padaku. Wajahnya kaku, tatapannya tajam, lurus menusuk mataku.

"Ayumi...." Aku diam, pura-pura sibuk dengan makananku. "Fuck! I'm still waiting for your explanation. What are you doing at his house?"

Aku melotot marah, kaget mendengar makiannya. "Bisa sopan nggak tanyanya?" protesku sebelum semua orang yang berada dekat kami mendengar sumpah serapahnya.

Untungnya L'Hymne a l'amour, vintage french song sedang mengalun lembut memenuhi ruangan. Meski berasal dari audio stereo, suara merdu Edith Piaf, penyanyi legendaris Prancis mampu meredam makian Gie. Pengunjung lain tak menyadari apa yang baru saja terjadi, tetap anteng di hadapan makanan mereka masing-masing. Saat ini kami sedang berada di Paul, sebuah restoran Prancis di Pacific Place Mal. Kami menikmati secangkir cappuccino and some pastry. Setelah sebelumnya, Gie menepati janji membawaku ke iBox untuk memilih sendiri iPhone yang aku inginkan.

"Jadi, bener lo sering ke rumahnya?" tanyanya dengan suara lebih pelan, tapi masih dengan wajah menyeramkan. Tatapannya menyelidik, serius bertanya.

Sia-sia terus mengelak atau pura-pura cuek, dia tak bisa terus dikibuli. Wajahnya terlihat kesal dan mulai kehilangan kesabaran. "Nggak sering. Hanya beberapa kali," jawabku kalem sambil menyeruput minuman. I love cappuccino and their desserts. Gratis pula.

"Ngapain lo ke rumahnya?"

Aku mengerang sebal. Kesal dengan rasa ingin tahunya. Mataku menatap makanan yang bertebaran di meja dan tumpukan belanjaan di kursi sebelahku. Dalam kantong belanja bukan hanya ada iPhone, tapi ada berbagai macam barang lainnya. Suer, aku tidak morotin Gie. Dia sendiri yang membelikanku begitu banyak barang. Apa yang aku mau, langsung dibawa ke kasir. Meski asal tunjuk, dan tak terlalu membutuhkan, dia tetap membelikan. Sejahat, serusak, seberengsek apa pun seseorang, pasti punya sisi baik even Gie sekalipun. Dia tidak pelit. He knows what I want. Gratisan.

Tetapi, tak ada yang mudah, murah, indah, apalagi gratis. Setiap tindakan memiliki motif. Jadi, dengan ragu-ragu aku melirik Gie. Aku mencari jawaban di mata jelinya. Apakah ada modus di balik kebaikan hatinya mengeluarkan begitu banyak uang. Atau, dia sengaja menyodorkan uangnya agar aku buka mulut tentang Arly? Inikah harga yang harus aku bayar?

I don't care. Masa bodo dengan Gie. Barang-barang ini sudah jadi milikku. Terserah apa tujuannya, yang pasti aku tak akan mengembalikan juga tak akan ember. Jadi, abaikan dia dan rasa ingin tahunya. Siapa suruh jadi dermawan.

Aku masih sibuk berpikir. Belum tahu mau menjawab apa tapi dia sudah lebih dulu buka mulut. "Lo. Itu. Pacar. Gue!" Gie menekan setiap kata yang diucapkannya perlahan-lahan dengan gigi berderak. Aku mendengus seraya melemparkan lirikan tajam. Merasa lucu mendengar ucapannya. Masih tak mengerti juga ini bocah. "Gue nggak mau lihat lo nyamperin Arly lagi. Dia nggak doyan sama tonjolan depan belakang kayak lo gini. Dia doyannya pantat chubby. Yang kalau diremas, depannya langsung mengacung keras."

Aku tersedak, batuk-batuk mendengar ocehannya. Tenggorokanku sakit, seperti dipelintir. Mukaku panas, merah semua. Aku nyaris mati keselek.

Gie tahu tentang Arly? Bagaimana dia bisa tahu? Gie bukan mantannya Arly kan? Bisa jadi. Apalagi mereka sudah berteman sangat lama. Oma goshhh. Aku mual. Tak mungkin cowok yang dekat denganku semuanya aneh, even yang bajingan kayak Gie gini. Hawt but if he is gay... iyuhhh... I back off.

Come On Get ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang