Belenggu Penolakan

15.7K 1.3K 47
                                    


Javas memegangi kepalanya yang terasa berputar, dia tidak bisa terus berdiam seperti ini. Lambat laun perut Afreen akan kian membesar dan pada akhirnya akan lahirlah seorang kehidupan lain--yang merupakan bagian dari dirinya, setitik darahnya yang menjadikan sebuah kehidupan yang tak diharapkan. Laki-laki itu duduk di atas tempat tidurnya, menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali. Satu sisi hatinya menyeruakkan jika sebagai seorang laki-laki dirinya harus segera menikahi Afreen, satu sisi lainnya berbanding terbalik, dia masih terlalu muda untuk menjadi seorang ayah. Tidak--Javas tak bisa melakukannya, jika menikah, terlebih dengan Afreen yang tak dikenalnya, akan jadi apa kehidupan pernikahannya nanti? Membayangkannya saja, Javas tak mampu mengandaikannya lebih jauh.

"Nggak, gue harus pergi. Gue butuh waktu," gumannya pada dirinya sendiri.
Javas bergegas, laki-laki itu mengambil beberapa potong pakaiannya dan memasukkannya ke dalam tas ransel berwarna merah maroon miliknya. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul sebelas malam, laki-laki itu tak peduli, baginya, mungkin pergi untuk sementara waktu adalah hal yang terbaik yang bisa dilakukannya.

Di tengah malam buta, Javas mengemudikan mobilnya membelah keheningan jalanan di sekitar kompleks rumahnya. Mobil itu melaju kencang meninggalkan rumah mewahnya di pusat kota, melesat jauh meninggalkan keramaian kota menuju sebuah daerah yang cukup jauh di timur kota.

***

Ini sudah hari kedua semenjak Kanaya datang ke rumah Javas dan Javas tak kunjung menemui Afreen. Sahabatnya--Afreen sudah mulai masuk sekolah pagi tadi, setelah beberapa hari tidak pergi sekolah, pagi tadi akhirnya Afreen bisa mengembalikan kepercayaan dirinya untuk kembali memakai seragam putih abu-abunya, walau mungkin saja tak lama lagi seragam itu akan ditinggalkan sementara oleh Afreen.
"Lo di kelas aja, gue pergi dulu," kata Kanaya begitu bel sekolah berbunyi--tanda istirahat.
"Lo mau kemana, Kan?"
"Lo nggak perlu tahu, oke di sini aja. Nanti gue bawain roti sama cokelat buat lo."
Kanaya meninggalkan kelasnya menuju gedung sebelah, di lantai dua--kelas Javas saat ini. Kanaya menekan rasa malunya saat menghampiri kelas seniornya itu, demi Afreen--apapun akan Kanaya lakukan. Air mata Afreen adalah salah satu alasan kuat Kanaya untuk segera menyelesaikan masalah ini, gadis itu tak ingin mengundang lebih banyak lagi air mata milik Afreen--karena itu, menyakitkan.
"Permisi, Kak gue mau nanya, Kak Javasnya ada?" Tanya Kanaya dari muka pintu, beberapa teman Javas memandangnya tak suka.
"Lo fansnya Javas? Cuih, berani banget lo nyamperin Javas!" Maki Ilma--teman sekelas Javas.
"Tidak ada urusannya sama Kakak, dan gue bukan fansnya Javas!"
"Lo ngapain nyari Javas?" Abhi datang dari dalam kelas, begitu mendengar suara Kanaya di ambang pintu.
"Lo tahu dimana Javas?"
"Kenapa lo nyari Javas? Hari ini dia nggak masuk."
"Apa? Shit sialan Javas, mau lari dari tanggungjawab dia, Banci!"
"Apa maksud lo?" Bentak Abhi tak suka ketika Kanaya memaki Javas.
"Ikut gue lo!"

Gadis itu menarik Abhi ke halaman belakang, satu-satunya tempat sepi untuk membicarakan masalah Afreen dan Javas. Meski beberapa anak memandang aneh pada keduanya, Kanaya tak peduli karena itu bukan amsalah besar baginya.
"Afreen hamil."
Satu kata itu membuat Abhi membuka lebar-lebar matanya, kejadian malam itu, Abhi ingat persis bagaimana gadis yang bernama Afreen itu diperkosa oleh Javas.
"Lo serius?"
"Gak ada gunanya gue bohong dan parahnya teman lo yang brengsek itu kabur!"

Abhi berdecak, laki-laki itu duduk di atas potongan Kayu Mahogani yang sedikit lapuk. Jadi, ini adalah alasan dua hari kemarin Javas diliputi gelisah?
"Gue tahu dimana Javas!"
"Lo serius?"
"Gue yakin dia ada di villa, itu satu-satunya tempat yang dia kunjungi kalau lagi ada masalah."
"Lo bisa kasih alamatnya?"
"Nggak! Gue yang bakal nganterin lo sama Afreen kesana, gue yang bakal nyeret Javas ke hadapan Om Pram buat tanggungjawab!"
"Oke kalau itu mau lo. Kapan kita berangkat?"
"Sepulang sekolah, lo siap-siap aja!"

***
Kanaya yang tiba-tiba menjadi aneh dan menyeretnya masuk ke dalam mobil Abhi seperti ini sedikit melahirkan kebingungan bagi Afreen. Ini Abhi, laki-laki yang tak kalah tenarnya dengan Javas, yang membuat Afreen heran untuk apa Kanaya membawanya masuk ke dalam mobil Abhi? Lebih lagi mereka tak mengenal Abhi sebelumnya kecuali sejak kejadian malam itu, Afreen ingat persis Abhi yang menghajar Javas malam itu, hingga ayah dari janin yang dikandungnya itu babak belur.
"Kita mau kemana sih?"
"Nanti lo juga tahu!" Jawab Kanaya bersamaan dengan Abhi, membuat Afreen memicingkan matanya pada sahabatnya itu.
"Lo jadian sama Kak Abhi?"
"Maksud lo?" Kanaya memutar kedua bola matanya, terkadang Afreen bisa jadi sangat menyebalkan.
"Pertama kita naik mobilnya Kak Abhi, kedua kalian ngomongnya barengan dan ketiga sejak kapan kita kenal sama Kak Abhi?"
Kanaya menghela nafasnya, Afreen memang cerdas ketika menganalisa, "mending lo tidur deh, gue sama Abhi nggak ada apa-apa, okey!"
Afreen mengangkat bahunya, sementara Kanaya mengintip Abhi dari kaca spionnya yang hanya diam semenjak tadi.

Snow Wife (Afreen & Javas)Where stories live. Discover now