Izin

310 11 15
                                    


"Ini adalah sebuah kisah tentang dunia Stfnir. Awalnya manusia hidup dengan damai, hingga suatu hari ada sebuah kekuatan besar dari dimensi lain yang membawa monster-monster datang ke dunia ini. Keenam orang pemberani dari ras manusia dengan gagah membasmi monster-monster itu. Keenam orang itu di kenal dengan nama PAHLAWAN. Tetapi raja monster terlalu kuat untuk mereka dan mereka pun hampir dikalahkan. Tiba-tiba saja para malaikat turun dari langit dan membantu para pahlawan untuk mengalahkan sang raja monster. Dengan bantuan malaikat akhirnya raja monster itu tersegel di dalam tanah, monster-monster yang kehilangan rajanya lari dan tersebar di dunia Stfnir. Para kesatria pun membangun kota agar manusia terhindar dari ancaman monster. para malaikat yang turun ke dunia ini pun akhirnya menetap di sini hingga sekarang. Tamat."

­

"Whoooooaaaa, singkat sekali ceritanya"

[PUNCH]

"Bodoh!! Jika kau ingin tau cerita lengkapnya pergi ke sejarawan di kota," geram Vina sambil memukul kepala Leon dengan keras.

Gadis kasar itu adalah Vina, seseorang yang sudah sejak lama bersama dengan Leon. Kira-kira sudah 8 tahun berlalu saat ia dan ayahnya pertama kali melihat Leon yang pingsan ditengah badai salju. Sejak saat itu Leon dirawat dan di besarkan oleh ayah Vina dan dari saat itu pula ketiganya hidup bersama. Tetapi sayangnya 3 tahun yang lalu, Remiurgde meninggal dunia karena terkena longsor saat pulang dari gunung. Karena kematian Remiurgde, mereka harus tinggal berdua di desa.

Mereka berdua beruntung karena warga desa Carnth sangat baik pada mereka. Itu semua buah hasil kebaikan Remiurgde, ia sangat baik pada warga desa dan sering membantu mengusir monster yang terkadang muncul di desa. Walaupun sangat jarang ada monster yang muncul di desa Carnth, setidaknya cukup jarang sehingga suasana malam di jalanan desa Cranth terlihat sepi seperti saat ini.

Banyaknya penerangan yang masih menyala pada setiap jendela rumah di desa Carnth menandakan bahwa warga desa masih terjaga dan melakukan aktivitas malamnya di dalam rumah. Termasuk Leon dan Vina, yang sejak tadi duduk di ruang makan dengan penerangan seadanya. Mereka berdua duduk berhadapan, dengan meja bundar kecil menjadi pemisah di antara mereka.

"Vi-vina, sebenarnya ada yang ingin aku katakan"

"Ada apa? apakah aku memecahkan kepalamu? Ha ha ha "

"Tidak Vina, aku bahkan tak merasakan pukulanmu sama sekali. hanya saja, aku sudah memutuskannya." Leon hanya berhenti bicara sampai disitu. Membuat Vina menunggu kelanjutan dari pernyataannya.

"Apa yang kau putuskan??"

"A-aku akan pergi ke kota untuk menjadi seorang pejuang" Leon mengatakan hal ini dengan penuh keyakinan di raut wajahnya.

"Yaa aku tau itu," balas Vina. "kau sudah mengatakannya sejak tiga tahun yang lalu."

"Jadi, kau sama sekali tidak keberatan?"

"mmm, tentu saja tidak. Walaupun akan sedikit sulit jika tidak ada kau di sini tapi aku akan baik-baik saja karena ada warga desa yang akan menolongku." Jawab Vina sambil bersandar pada kursi, melipatkan kedua tangan di depan dadanya dan mememjamkan mata seolah membayangkan saat Leon tidak ada di rumah.

Memang biasanya Leon lah yang membantu kegiatan sehari-hari. Mencari kayu bakar, berburu, memancing, dan pekerjaan berat lainnya. Kadang Leon juga mengambilkan kayu bakar untuk warga desa sehingga ia diberi sedikit upah atas usahanya. Biasanya dalam bentuk uang, tapi terkadang warga desa juga memberikan buah hasil panen dan hasil buruan kepada Leon.

"Hiuhh-h, syukurlah. Kukira kau akan keberatan." Leon sedikit lega mendengar respon positif dari Vina. "Kalau begitu, aku akan berangkat besok pagi"

"Ya ya, besok pagi ya, baiklah aku akan me--, B-BE-BBESOKK!!??"

[BRUAK]

Vina memukul meja dengan sangat kerasnya. Ia sampai berdiri dari tempat duduknya. Matanya melotot tajam ke arah Leon. Terlihat tangannya tampak sedikit memerah, tapi sepertinya ia dapat menahan rasa sakitnya.

"Eh, H-He he he." Leon sendiri tampak kebingungan bagaimana harusnya ia bersikap di situasi seperti ini. Ia hanya bisa menggaruk pipinya dan tersenyum dengan sedikit berkeringat karena takut Vina akan marah mendengar keputusannya itu.

Sejenak dialog antara mereka berdua terhenti. Vina tetap menatap Leon dengan tajamnya dari bawah rambut pirangnya. Sedangkan Leon tetap bingung dengan apa yaang harus ia katakan untuk meyakinkan Vina.

"Hmphh."

Vina menghembuskan nafasnya yang akhirnya sekaligus menggerakkan kembali motor dialog di antara mereka.

"Bukankah terlalu dini untukmu menjadi seorang pejuang!? Apakah kau tau betapa sulitnya tes itu!? Orang dewasa pun kadang tidak lolos pada ujian itu. Apa kau sadar dengan apa yang kau katakan!?"

Benar sekali apa yang dikatakan oleh Vina, ujian pejuang bukanlah ujian main-main. Mereka para pejuang nantinya akan dihadapkan dengan situasi dimana mereka tidak akan sempat mengedipkan mata. Keadaan dimana hidup dan mati hanya di ukur dari seperapa besar kekuatan mereka. Dibutukan kekuatan, kecerdasan, dan kemampuan bertarung yang baik untuk menjadi seorang pejuang.

"mm, b-bukankah tidak ada batasan usia untuk mengikuti tesnya" jawab Leon dengan ekspresi tetap sedikit takut.

"Ini bukan masalah usia, coba pikirkan ulang keputusanmu itu!" tegas Vina.

"Aku sudah memikirkannya. Aku pun berlatih cukup keras untuk tes itu, jadi kupikir ini akan baik-baik saja. La-lagipula ini janjiku pada Remiurdge."

Mendengar nama ayahnya, Vina pun terdiam. Seperti tersadar akan sesuatu yang sudah ia lupakan, ia pun memejamkan matanya, pinggulnya digerakkan untuk kembali duduk di kursi kayu yang ada di belakangnya, kemudian menarik tangan mungilnya dari atas meja. Sepertinya sakit di tangannya yang memerah sudah mulai ia rasakan.

"Hmmph, baiklah."

"Baiklah? Jadi kau mengizinkanku?"

Vina hanya mengangguk menjawab pertanyaan Leon itu.

"YAHHOOOOO-" Tiba- tiba Leon melompat dari kursinya karena kegirangan mendengar persetujuan Vina.

"Hei Leon jangan Berlari di dalam rumah!" teriak Vina.

Sepertinya perkataan Vina ini tidak di dengar oleh Leon. Ia terlalu fokus dan begitu bergembira karena akan pergi ke kota. Tingkah Leon yang begitu senang dan antusias sekali membuat Senyuman manis keluar dari wajah Vina. Hanya saja, Leon terlalu sibuk untuk melihat keindahan itu.

Leon mulai mempersiapkan keberangkatannya besok. Dimulai dengan memasukkan semua barang yang dibutuhkannya kedalam tas gendongnya. Baju ganti, sikat gigi, sebuah belati, sarung tangan, dan sedikit uang yang ia kumpulkan dari upah mengumpulkan kayu bakar dari warga desa. Setelah itu ia menyiapkan pakaian yang akan dikenakannya besok saat perjalanan menuju ke kota.

Malam itu pun bulan bersinar sangat terang. Tampak jendela-jendela yang tadinya berwarna kemerahan sekarang menjadi gelap. Tinggal cahaya sang rembulan menemani tidur Leon yang sangat nyenyak. Meski begitu, ia tetap tak bisa menyembunyikan senyuman lebar ungkapan kebahagiaan dari tampang polosnya­.

================================================================================

dDJ0<

Leon : Path of a BattlerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang