The Journey - 4

2.7K 255 17
                                    

14.01.2015
Ya ampun part ini 2300-an kata lebih. Ngerjainnya dua hari di bus selama di jalan pulang. Wkwkwk @acilolly emang ngerjain saya yah. Cerita dia dipadetin sementara saya ngejabarinnya bingung. Tapi semoga ini ga mengecewakan :)






☆☆☆

Hafis menguap cukup lebar membuat aku menggeser bokong sedikit untuk menjauhinya. Tangannya terbentang, di genggamannya ada pulpen yang ujung tajamnya hampir saja menusuk mataku jika tidak bergerak sigap menghindar tadi. Jemariku mengetuk-ngetuk meja seiring dengan seringaian tak suka yang ku tujukan pada Hafis.

"Why?" Tanyanya santai tanpa rasa berdosa dengan sudut mata sedikit berair. Aku yakin dia tertidur selama penyuluhan tadi.

"Nafas lu bau." Kualihkan pandanganku pada sebuah kotak kerdus kecil yang biasanya diisi oleh kue-kue, roti, kacang atau makanan ringan lain.

"Sueee!" Hafis mengusap pipi dekat bibirnya sambil melirik sinis.

"Itu enggak mau lu makan Raf? Gue bersedia menampung kok." Hafis menunjuk kotak milikku dengan melebarkan senyumnya karena aku akhirnya memilih untuk minum saja daripada kembali makan semua cemilan dalam kotak itu.

"Makan deh sama lu." Kugeser sekotak sumber energi itu kearah Hafis yang sedang menatap tidak percaya.

"Seriusan?"

"Ehm." Aku menjawabnya dengan gumaman singkat. Kubereskan segala catatan penyuluhan sistem operasi hari ini. Jangan berpikiran aku dokter, bukan. Ini sistem operasi turbin baru yang rencananya akan perusahaan pakai untuk menganti turbin yang sudah mencapai umurnya.

Aku menyampirkan tas ranselku di bahu lalu beranjak untuk ke luar. Kulirik jam tangan sekilas sebelum menekan tombol lift.

"Sebentar lagi Magrib." Ucapku tanpa sadar.

"Mau sholat dulu?" Hafis tiba-tiba sudah ada disebelahku lagi. Aku melenggut sambil mengerjapkan mata.

Pintu lift terbuka dan kami beriringan masuk, kutekan tombol lantai dasar. Hafis bersandar pada dinding besi sembari mengunyah sebuah roti dari kotak makanan tadi.

"Lu juga mau sholat?"

"Ya iya lah. Tanggung udah jam segini." Hafis menyelesaikan gigitan terakhirnya.

"Gimana kabar di Priok?" Pertanyaanku bersamaan dengan dentingan suara lift ketika pintu terbuka. Kami berjalan menuju Mushola yang tidak jauh dari lobby utama.

"Panas. Kalau Suralaya?"

"Enggak sepanas Priok kayanya."

"Sialan emang. Gue pengen pindah gitu ke PLTP Kamojang deh Raf, di sana kan enak dingin dan ceweknya pasti geulis-geulis. Enggak kaya disini lah isinya kebanyakan cabe-cabean. Panas sih tapi pedes!!!"

Sedari awal masuk perusahaan milik negara yang bergerak di bidang pembangkit tenaga listrik, Hafis memang ingin ditempatkan di Garut tapi nasib berkata lain. Dia harus di Priok. Kutepuk bahunya dua kali.

"Tandanya Allah enggak mau ngerusak wanita-wanita geulis Garut dengan kehadiran lu. Makanya lu terdampar di Priok."

"Ngeselin lu ya." Hafis merantuk lenganku. Aku cuma membalasnya dengan cengiran.

"Gue ke toilet dulu." Aku langsung berbelok begitu sampai di tikungan sebelum Mushola. Hafis mengibaskan tangannya layaknya mengusir, membuatku menahan tawa. Hafis adalah salah satu sahabatku sedari kuliah. Dia juga salah satu pengemar Shakila. Tidak perlu heran, Shakila memang idola.

Kumasuki salah satu bilik toilet, melepaskan seragam kerjaku lalu mengantinya dengan celana katun biasa dan kemeja abu-abu yang sengaja ku bawa. Aku sudah berniat menemuinya memang, dan memakai seragam bukanlah pilihan yang bijak disaat kami sedang bermain misteri. Membuat dia penasaran ternyata begitu menyenangkan. Wanita itu yang selalu menganggap hal apapun serius. Aku jadi selalu ingin menggodanya agar dia lebih santai dan bisa tertawa. Aku jadi ingat percakapan kami tentang mesin pesawat lagi. Dia terlihat sedikit kesal karena aku mengakhiri segalanya dengan magic. Tapi setelahnya dia begitu riang dalam tawa.

The Journey (not the destination)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang