Lantai koridor kecil itu berderit sepanjang langkah Diana yang makin mendekati pintu. Diana mendorong pintu rapuh itu dan ketakutan dengan apa yang dilihatnya. Aroma busuk mulai tercium, mengalahkan bau daging bakar dari perapian.

"Astaga..."

Puluhan mayat melayang di udara, berhimpitan, berulat, menunggu untuk dibakar. Terdengar tawa samar yang aneh dari para kucing, dan membuat Oliver ikut tersenyum. Ia menambah keras musik Jessica Pratt dan mulai bersenandung. Gerimis dan gemuruh petir yang menghiasi latar belakang langit-langit yang menganga membuat pemandangan di kamar Diana kecil semakin mengerikan.

Rasa jijik bercampur marah menjangkiti Diana. Tangannya terkepal, gemetar. Ia menatap tajam Oliver yang masih berbaring di sofa.

"Gila!!"

Jessica Pratt masih bernyanyi di dekat perapian, mengiringi kelopak mata Oliver yang menutup malu-malu. Sementara Diana masih berdiri di pintu masuk kamar masa kecilnya. Ia marah karena mayat beberapa anggota dewan Balaikota dan makhluk magis Fausteldorf berhimpitan tak karuan di dalamnya.

"Kenapa kau bunuh mereka??" teriak Diana dari arah kamarnya. Ia kemudian berjalan ke arah Oliver, lalu berhenti untuk mulai menghakimi.

Oliver hanya tersenyum dan melanjutkan senandungnya. Tak lama kemudian ia membuka mulutnya.

"Karma. Kau seharusnya menemaniku membunuh mereka, Diana," bisik Oliver. "Karena cepat atau lambat kau sendirilah yang akan melakukannya. Aku hanya mempercepat prosesnya."

"Kau tidak tahu masa depanku, Nak."

"Aku tahu. Mesma juga tahu. Dengar, masa depanmu sungguh buruk, Ibu."

"Anak Sinting!!"

Diana segera pergi karena tak bisa membendung rasa jijik dalam dirinya.

***

Sobriquette, sebuah perpustakaan yang berada di Dunia Tanpa Nama, dijaga oleh paman sang Kegelapan. Ia tahu banyak hal. Itu sebabnya Kegelapan datang menemuinya.

"Selamat datang, Mesma. Selamat atas kekalahanmu."

Paman Kegelapan, Huzma, memperlihatkan sebuah manuskrip tua. Ia membukanya dengan hati-hati. Setelah sampai pada halaman yang ia cari, ia menunjuk sebuah halaman penuh tulisan dan gambar.

"Jadi ini satu-satunya cara untuk menang?" tanya Kegelapan.

"Kau bisa bilang begitu. Kakekmu mungkin akan melakukan hal yang sama, Mesma."

"Buku ini kau tulis sendiri?"

"Kenapa? Apa itu mengurangi kredibilitasnya?"

"Tidak. Aku hanya penasaran. Ada berapa kehidupan yang sudah kau lihat untuk mengetahui semua ini?"

"Semuanya. Termasuk hidupmu, Nak. Aku tinggal memutar roda itu dan menonton takdir siapapun."

Kegelapan bingung, seakan ia memiliki banyak langkah kemenangan di hadapannya. Ia harus memilih salah satu.

"Jadi kau sudah tahu bagaimana akhirnya."

"Ya. Memberitahumu hanya akan merusak kejutannya."

"Aku mau menelusurinya sendiri, Paman. Biarkan aku tahu jawabannya."

"Kau sudah tahu jalan menuju roda itu bukan? Pergilah, putar rodanya lagi, dan lihatlah takdirmu sendiri."

***

Oliver terbangun di pagi hari, mencuci muka, dan langsung memasuki dunia cermin lewat cermin antik di depan kamar masa kecil Diana. Sekitar pukul dua dini hari tadi, Diana sudah pergi bersama amarah dan kejijikan yang mengendap dalam dadanya.

DEVOLVEDWhere stories live. Discover now