"Aku tidak mau disamakan dengan mereka. Tak usah mengalihkan topik."

"Hmm, oke, kau lebih baik dari mereka. Lebih magis daripada mereka." Diana membumbui gerakan jari-jarinya di udara, terlihat cukup aneh.

"Cihh... Ibu, kau mengada-ada... Suatu saat kau harus lebih jeli melihat ke mana kekuatan pemberian Kegelapan itu akan berujung. Tapi, jika memang kau bersikeras ingin mengendalikan kota ini, terserah."

"Ayolah, jangan bahas itu lagi. Rencana itu masih lama."

"Cih, 'lama' versi ibu sedikit lebih cepat dibanding versi manusia kebanyakan."

Oliver meneruskan goresan pena yang dibuatnya sejak pulang dari ujian masuk universitas. Tiga garis yang ditariknya dijangkiti kebosanan yang menebal. Sudah tiga hari ia menggambar sketsa kasar keseharian kota Fausteldorf dengan pena. Ia memfokuskan gerak penanya pada sebuah gedung gereja tua yang menjulang. Ia berusaha membentuk lengkungan jendela kaca mosaik yang khas. Keningnya terlipat berlapis rasa gundah.

"Jadi, sudah sampai di mana petualangan si narsis Anna?" Oliver kembali meneruskan percakapan.

"Baru saja selesai terlindas kereta."

"Anna punya dua mata, tapi memilih hatinya sebagai alat penglihatan," kata Oliver sambil meneruskan goresan pena di atas buku sketsanya.

"Mungkin kau ada benarnya, hati memang bisa menipu pemiliknya."

"Bodoh. Dikalahkan oleh sesuatu yang diberinya makan sejak kecil."

"Entah bagaimana, kata-katamu itu mengingatkanku pada Kegelapan. Pada dirimu, tepatnya... " Diana mengelus rambut Oliver.

Aku bingung mengapa kau bisa melupakan bertahun-tahun hidupmu di dalam kepala makhluk pucat itu, Oliver. Jelas-jelas kau masih mengingatnya ketika kau berbicara di dalam batinku saat aku sedang bermetamorfosis.

Mungkin perwujudanku menjadi seonggok daging dalam rahimmu adalah alasan yang paling kuat. Mungkin ikatan darah kitalah yang menghapus ingatanku. Lagipula, aku malas berurusan dengan makhluk jelek seperti dia, tidak penting bagi otakku untuk mengingatnya.

Itu masih tidak masuk akal buatku.

Masih adakah hal yang masuk akal dalam hidupmu, Ibu?

**************

Diana melipat bantalnya agar cukup tinggi menopang kepalanya yang sedang membaca. Ia tidak bisa fokus pada barisan kata di hadapannya dan terus menggigiti kukunya. Buku Anna Karenina yang belum selesai dibaca kini tergeletak di atas sofa. Ia pun dijangkiti kebosanan.

Diana menuju ke dapur. Oliver sedang makan saat Diana melintas di belakangnya, hendak menuju ke bak cuci.

"Kau punya masalah, Bu?" Oliver sadar kalau Diana sedang memikirkan sesuatu. Meskipun peristiwa-peristiwa buruk sudah lama lewat.

"Entahlah ... Baca saja pikiranku, aku malas membicarakannya." Diana mengambil piring-piring yang masih basah dan mulai mengelapnya. Ia memandangi purnama di luar. Aneh, ini bukan saatnya bulan bundar kekuningan itu muncul. Ada-ada saja langit di luar sana.

"Kegelapan pernah berkata padamu kalau dia tidak bisa-- tepatnya tidak punya kuasa, untuk membunuhmu? Bodoh kalau percaya begitu saja. Mana mungkin makhluk seperti dia tidak bisa melakukan hal semudah itu?" Oliver membersihkan remah croissant dari bibirnya, lalu meminum susu hangat di sebelahnya.

"Kau benar. Aku jadi makin membencinya. Tapi di sisi lain, aku berutang padanya. Kalau bukan karena dia, tidak mungkin aku merasakan kembali masa mudaku yang ternyata lumayan baik ini."

DEVOLVEDWhere stories live. Discover now