CHAPTER 25

5K 301 2
                                    

"Dok..Dok..gimana kabar adik saya?" Tanyaku ke dokter yang baru saja keluar dari ruang UGD.

"Maafkan saya, mas. Adik mas terluka parah, tangan kirinya patah. Tulang rusuknya retak, begitupula dengan kepalanya. Kepalanya retak begitu parah. Ia juga mengalami pendarahan di otaknya, tetapi saya sudah dengan sekuat tenaga untuk menanganinya." Jelas dokter tersebut.

"Ya Allah.." Kaki ku lemas, sangat lemas. Kenapa bisa begini, Re.

"Dan juga, dia keadaannya sekarang sedang koma. Saya tidak tau pasti kapan ia akan siuman, mari kita serahkan semuanya kepada Allah swt., permisi mas." Lanjutnya, lalu Dokter tersebut langsung izin untuk permisi.

Aku yang tidak tau harus apalagi, langsung menelfon Geri dan Kaira. Aku menyuruhnya untuk datang kesini. Aku..Aku..Aku bingung. Wanita yang sampai saat ini aku cintai sekarang terkulai lemas diatas kasur dengan berbagai macam selang dan perban ditubuhnya. Belum lagi infusnya.

Ya Tuhan, berat harus melihatnya seperti ini.

"Gas! Rere kenapa!" Teriak Kaira dari kejauhan yang tampak betul ia khawatir dan panik.

Aku hanya menunjuk ke ruang UGD dimana ia sedang terbaring. Kaira tiba - tiba menangis, ia menangis sejadinya melihat keadaan sahabatnya.

"Terus, Vanno mana, Gas?" Tanya Geri.

Oh ya, Vanno. Urusanku dengannya belum selesai.

"Biarkan si brengsek itu ga mendekati Rere lagi," balasku dengan intonasi agak sedikit ku tekan. Geri hanya terlihat bingung sambil menenangkan Kaira yang sedang menangis.

*

'Re..maaf...maaf...maaf...maaf..maaf...maaf...maaf...'

Hanya kata 'maaf' lah yang daritadi keluar dari mulutku dari semenjak aku melihat Rere sampai pulang dan berada dirumah.

Mama ku terlihat bingung melihat keadaanku sekarang, tapi Rara tadi sudah menjelaskan semuanya kok. Apa yang terjadi dan apa yang ku lihat tadi dengan mata kepala ku sendiri.

Kebetulan, malam ini mama ku sudah tertidur dan aku masih belum. Aku masih memikirkan bagaimana keadaan Rere. Aku tidak tau aku harus bagaimana lagi.

Dengan langkah pelan, aku berjalan ke arah dapur. Aku mengambil satu buah pisau yang biasa mamaku pakai untuk memasak.

Aku genggam pisau itu dengan sekuat tenaga, agak sedikit lega rasanya. Setidaknya, ini bisa membuatku lebih baik dari sebelumnya.

Klik!

Lampu dapur yang tadinya padam pun hidup, mama sedang berjalan ke arah dapur. Mungkin beliau haus atau lapar.

"Vanno!" Mama berlari ke arahku. Ia terlihat panik, padahal aku merasa bahwa tidak ada apa - apa yang harus dibawa panik. "Lepas Vanno! Lepas!" Mama mencoba melepas pisau yang sedaritadi ku genggam.

Ternyata, darahku sudah banyak keluar. Berceceran dimana - mana. Mengotori dapur milik mamaku ini.

"Maaf, Mah. Jadi kotor." Ucapku pelan dan santai.

Mama membawaku ke mobil, dan ia sedang membawaku ke rumah sakit. Aku tidak tau, untuk apa mama membawa ku kerumah sakit. Sedangkan aku merasa baik - baik saja. Bahkan lebih baik saat aku menggenggam pisau tersebut.

Aku dibawa ke ruang UGD, untuk apa ya?

Ku lihat bahwa ada seorang pasien yang sedang ingin dipindahkan. Aku kenal dia siapa. Aku tahu dia siapa.

Dia, Rere.

Hati ini sakit melihat keadaannya sekarang. Aku tidak tahan, tidak kuat. Ingin rasanya aku membunuh diriku sendiri karna telah membuat Rere seperti itu.

Kenapa aku begitu bodoh, kenapa?!

Tidakkah disini ada benda tajam seperti silet dan pisau? Aku butuh itu, sangat butuh.

Aku sudah tidak tau bagaimana cara untuk melampiaskan semua ini.

Oh, aku baru ingat. Dikantongku kan ada silet, yang baru saja tadi dibeli Rara entah untuk apa. Kalau tidak salah memotong perban, karna tidak ada gunting. Kalau mau pakai pisaupun, tidak akan berguna.

Dokter yang selesai menangani ku langsung keluar untuk menemui mamaku. Mungkin ia akan menjelaskan apa yang terjadi dengan tangan kananku bekas menggenggam pisau tadi.

Tangan kiriku, sekarang sedang menggenggam silet yang tadi bekas Rara pakai. Lebih baik, ya, semuanya lebih baik saat seperti ini.

Darah segar keluar dari tanganku, lebih tepatnya mengalir dari silet yang sedang ku genggam lalu menetes diatas lantai rumah sakit ini.

"Vanno, kamu kenapa sayang?" Mamaku datang menghampiriku. Beliau masih belum tersadar bahwa tangan kiri ku sekarang sedang menggenggam sebuah silet.

Tapi sia - sia juga usahaku. Mama melihatnya, karna darah yang jatuh makin banyak.

"Vanno! Lepas Vanno! Lepas sayang!" Aku memberontak, tidak mau melepaskannya.

Silet itu semakin ku genggam hingga lukanya semakin dalam. Tapi tak lama, aku merasa lemas. Mata ku mulai berkunang - kunang. Aku merasa mengantuk hingga akhirnya aku tertidur. Ternyata, darahku yang mengalir sudah begitu banyak.

*

"Dok, bagaimana keadaan anak saya?" Tanya mama Vanno yang sedang menangisi keadaan anaknya.

"Bu, alhamdulillahnya, Vanno tidak menggenggam pisau tersebut sangat dalam ditangan kanannya. Tetapi, yang barusan Vanno lakukan, sudah sangat parah bu. Lukanya juga semakin dalam. Hampir mendekati nadinya yang berada di telapak tangannya. Lebih dalam dari tangan kanannya. Ia juga kekurangan darah yang membuat ia sekarang pingsan. Tapi tenang, akan saya tambahkan Vanno darah dengan persediaan darah yang ada dan cocok dengan darahnya.

"Tambahan dari saya, bu. Vanno...ia mengalami self harm. Penyakit psikologis dimana penderita akan menyakiti dirinya sendiri untuk membuat dirinya tenang. Ini sudah sangat bahaya, bu, bila tidak segera ditangani. Ia harus menjalani pengobatan yang khusus. Pengobatan ini biasa dilakukan di rumah sakit atau psikolog Amerika, bu. Di Indonesia, untuk menangani penyakit psikologis macam itu masih kurang. Jadi saya sarankan untuk Vanno segera menjalankan pengobatan di Amerika untuk kebaikannya. Agar ia tidak melukai dirinya sendiri, lagi dan lagi." Jelas dokter tersebut.

Mama Vanno hanya bisa menangis dan menangis. Ia tidak tau, apa yang membuat Vanno melakukan ini.

Ya, mungkin Shelin dan Papa nya masih bisa ia kendalikan emosinya. Tetapi, dengan adanya kejadian ini, mungkin Vanno sudah tidak bisa mengendalikannya lagi. Ia melihat wanita yang ia sayangi terbaring lemas dirumah sakit dimana ia sedang terbaring juga.

"Ya Tuhan, Vanno... kenapa kamu jadi kaya gini, nak." Tangis Mama Vanno tambah menjadi.

Ia menangis diluar kamar Vanno agar Vanno tidak tau bahwa ia sedang menangisi Vanno.

"Mama sayang kamu, Nak. Mama gamau kehilangan kamu." Mama Vanno menenggelamkan wajahnya dikedua telapak tangannya.

★★★

Hope you enjoyed.
Bilbile
Thursday, December 17th 2015
12:53 AM

*

Maafkan aku ya, feel disetiap chapternya kurang bahkan ga ada. Dan juga, aku ga ada ahli - ahlinya dalam bidang kedokteran. Maafkan aku atas penjelasan dokter yang gajelas itu ya wkwkwk.

Not Meant To Be #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang