Bukan Hanya Pertemanan, UNO Juga Merusak Kejiwaan

16.1K 1.3K 127
                                    

"Car, makanya pakai otak dong," ejek Bernard main-main ketika saya sedang dalam fase-fase bolot. "Otak lu di kemanain, sih?"

"Nah itulah, otak gue sukanya shift-shiftan nih," saya menjawab. "Terus sering ngaret lagi. Padahal udah shift 3. Tungguin aja, palingan juga lagi makan siang."

Walaupun patut diakui bahwa otak saya sering tiba-tiba mati, macam HP tua yang kadar baterainya sudah di bawah 10% - Apalagi pada waktu-waktu tertentu, misalnya ujian praktek Bahasa Indonesia - tetapi saya ini tetap tergolong kreatif dalam berimprovisasi, kok!

Hanya saja sih, memang kalau saat sedang mengisi ulangan harian, otak kami kerap kali mendadak kosong. Bocoran-bocoran soal yang dengan penuh kemenangannya 'diintip' dari kelas sebelah, ternyata cuma omong kosong. Mata kami memandang ke kekosongan. Di hadapan kami selembar kertas jawaban kosong melompong.

Dan semua ini, apalagi sebabnya kalau bukan: jam kosong.

Suatu fenomena sekolah yang merupakan anugerah sekaligus musibah, membawa rasa bahagia dalam jangka pendek, tetapi kebodohan permanen dalam jangka waktu panjang; paling sedikit terjadi sekali dalam hidupmu, dan paling banyak, tujuh kali dalam sehari - contohnya kelas kami.

Peristiwa menguntungkan (atau merugikan?) ini, biasanya disertai selembar kertas catatan berisi tugas yang seharusnya kami kerjakan selama Sang Guru Kami sirna entah ke mana.

Kalau misalkan berniat mengerjakan kebajikan saja sudah dapat pahala, maka analogi yang logis berniat mengerjakan tugas saja sudah dapat nilai KKM. Amat disayangkan bahwa cara kerja religi dan realita tidak sama persis!

Namun, apalah daya ancaman lembek macam begitu, terlebih ditambah fakta bahwa sudah teramat jelas si guru tadi tidak bakal datang sampai kira-kira minggu depan, maka kalau bahasa kerennya: Yang wacana akan tetap jadi wacana.

"Eeh, hari ini gurunya nggak masuk, ya," ucap Cide, ketua kelas kami pasca reformasi, di tengah jam pelajaran prakarya. "Jadi kita dapet tugas. Harus dikumpulin hari ini."

Loh, kok ketua kelasnya Cide? Bukannya Tsunderevan? Nah, masalah ini bisa saya jelaskan nanti - dan tidak, bukannya Revan mati macam di novel-novel tragedi begitu!

Intinya, anggaplah Cide yang bermuka tua mengatakan hal begitu pada kelas kami, dan jelaslah sudah ia dibalas dengan aneka macam cibiran, erangan, jeritan, serta gebukan.

"Gua males."

"Gua juga."

"Gua apalagi," Adnan mengeluh. "Emang tugasnya apaan, De?"

"Uh," Cide mengecek sebentar tulisan tangan guru kami yang dimulai dengan kalimat 'Kepada anak-anakku tersayang...'. Entah beliau awalnya berniat membuat kami baper, atau iseng saja dia ingin mengasah kemampuan sastra. "Melanjutkan membuat robot."

Iya, kadang kami berpikir, memang sekolah kami ini mecha academy? Neon Genesis Evangelion kah?

Mengerjakan misi seperti itu tidak mungkin. Maka dari itu, gabutlah kami. (Namun, bukankah 'gabut' merupakan kependekan dari 'gaji buta'? Rasanya lebih benar kalau perstiwa seperti ini dinamakan 'nibut' alias 'nilai buta'.) Tak ambil pusing, yang jelas siswa-siswi X IPA 5 yang teladan ini berhamburan mengerjakan hal yang diminati masing-masing.

Sebagian melesat ke kantin. Sebagian lainnya ke lapangan. Sebagian yang lain, berdiam di kelas tetapi pikirannya melesat ke hal-hal yang lebih 'gelap'.

Parah, lama-lama kami bosan juga!

Permainan-permainan yang ada dalam HP mungkin mampu sedikit menghilangkan rasa jenuh, tetapi lama-kelamaan kami berpikir; Bukannya akan lebih seru kalau kami bisa main bersama?

2 Itu Teman, (40-1) Itu Satu Kelas! [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang