IRONI

1K 27 7
                                    

Aku berada dalam batas garis ketidakberdayaan. Nanar. Dalam pelukan bisu yang menyakiti. Tersia-sia diantara gemuruh teriakan kepedulian yang semu. Akhirnya pun kalah. Kalah telak dengan nilai kehormatan yang luntur. Masa egoisme dan individualisme meluluhlantahkan kebersamaan yang sejak dulu diagung-agungkan. Terjebak  di celah-celah era baru yang dianggap sang nomor satu. Terinjak-injak hanya karena perbedaan jumlah nilai di kartu simpananmu. Darah mengalir dari celah-celah lubang kehidupan dan kenikmatan, dikoyak-koyak hanya dengan alasan yang naluri pun tak mengetahui letak benarnya.

Aku telah musnah. Jatuh mahkota itu. Pecah berantakan dan meninggalkan bekas. Terlihat tapi tak terlihat dan menimbulkan cela berkepanjangan.

Matikah?

Tidak!! Masih bertahan. Masih hidup meski berat untuk terus hidup. Dengan sebotol kecil asa yang kupadatkan, yang kuramu menjadi sekuali kekuatan, yang kuaduk menjadi lumuran kepercayaan. Kepercayaan yang ternoda oleh dendam.

Aku bertahan dengan itu

 ***

Entahlah

Bisu

Sejauh yang kutahu, akhirnya hanya ketidaktahuan yang ada. Tahukah apa yang membuatku hidup? Hidup yang terkutuk. Hidup yang penuh dengan titik-titik noda hitam.

Bisu lagi.

Mengingat masa dulu ketika mahkota itu masih bersemayam rapi di tempatnya. Ketika masih ada keangkuhan bertahta hebat karena kebesaran, kesuksesan yang telah berhasil diraih. Aku buta dengan segala besar yang memelukku. Dua nyawa yang menyertaiku, melindungiku dan membantuku meraih semua itu. Mereka ucapkan janji dan memintaku memilih untuk hidup dengan satu dari mereka. Tapi tawa, tawa penghinaan yang justru keluar dari mulutku.

Dendam dan penerimaan tulus. Akhirnya satu-satu memilih itu. Dan tahukah bahwa aku tak tahu. Tak tahu apa-apa dan masih nyenyak dengan kebesaran yang ada. Terlalu pongah.

Akhirnya, saat bisu malam mendekati kesempurnaan bulan. Satu nyawa berjalan. Pelan-pelan dengan lumuran dendam miliknya dan sakit luka yang ku tebas tiada ampun tepat di ruang utama jiwanya. Menjadikan ketulusan miliknya dulu pecah berantakan. Hancur. Musnah. Tak tersisa. Menjadi abu dan pupuk bagi dendam yang bertunas. Tumbuh menjadi lebat dan mematikan.

Tak pernah sadar dan masih dalam buaian mimpi. Aku terlelap dalam surgaku sendiri. Tempat kuletakkan letih dan lelah.

Dia mengendap-endap

Menapaki tiap-tiap tangga istana yang kami bangun bersama tapi kutetapkan menjadi milikku seorang. Rupanya dulu aku begitu silau pada kemewahan dan keindahan surga duniawi.

Maka saat dentang waktu berbunyi dua belas kali. Satu nyawa itu telah lekat menatapku yang masih berpelukan erat dengan sang mimpi.

Dia menatapku tajam.

Entah perasaan apa yang dirasakannya tapi kekuatan cinta dan kesucian jiwa miliknya dulu telah membusuk menjadi dendam yang menuntut pembalasan. Dan dia masih terus menatapku seakan masih tersisa kasih di sudut hatinya yang penuh luka, yang bernanah dan berbau. Tapi rupanya kalah, karena dendam dan rasa sakit pada hatinya telah menjadi semacam wabah yang telah menyerang nalurinya, yang kini telah mengalir dalam merah darahnya dan terserap dalam tiap hembus nafasnya.

Aku terjaga dengan segala keterkejutan begitu mengetahui sang pemilik raga itu ada disini dan tengah menatapku dengan tatapan yang mengerikan. Tatapan cinta yang sarat luka, yang sepertinya begitu menderita. Teraniaya dan terbuang. Dia memeluk ragaku tiba-tiba dengan paksa dan sia-sia semua suara yang keluar dari mulutku, hanya menjadi teriakan bisu di istanaku yang sunyi.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 16, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

IRONIWhere stories live. Discover now