Puzzle enam

87 3 0
                                    

Part 12

Mencoba berdamai dengan diri sendiri kadang melegakan. lnilah kulakukan malam ini. Setelah lama merenung, akhirnya aku mengalah pada Papa. Lama aku berdiri terdiam diambang pintu rumah besar itu. Tangan lembut tiba-tiba meraihku. Pelukan yang kurindukan selama bertahun-tahun, membuatku menitikkan air mata. Dekapan seorang ibu. Satu ruang hampa dihatiku terisi kembali.

"Jadi mahasiswi bandel ini sudah berubah?" aku menghapus air mataku, melepaskan pelukan mama saat mendengar suara yang cukup akrab di telingaku. Dosen yang paling kubenci itu, tersenyum hangat padaku

"Mama... sekarang giliranku kenalan dengan kakakku!" gadis mungil kira-kira berusia 16 atau 17 tahun mendekatiku. Dia pasti Nirina, anak mama. Sudah lama aku tahu di ada tapi aku enggan melihatnya.

"Fit... dia adikmu" Papa yang sejak tadi hanya mematung di belakangku kini menatapku, seakan memintaku mendekati gadis itu. Aku memeluknya. Aku tidak sendirian, aku punya seorang adik.

^_^

Semua berjalan indah, bahkan Papa dan Pak Karto seperti dua orang sahabat karib. Papaku dan orang yang telah merebut istrinya, akrab? Lupakan yang telah lalu, cukup jadi catatan sejarah. Hatiku telah menerima semuanya, Papaku yang begitu sabar, Mama yang kasihnya tak pernah putus untukku walau seribu maki pernah kulontarkan. Aku juga merasakan punya seorang adik, tempat berbagi canda dan terakhir Papa baru, aku harus bisa menerimanya sebagai bagian dari keluargaku. Kalau Papaku saja bisa menerimanya, mengapa aku tidak? Toh, dia tidak seburuk yang kupikirkan. Dendam diantara kami berakhir sudah...

"Apa kakak punya pacar?" tanya Nirina padaku. Aku menjitak kepalanya. Dia cemberut. Oh iya, tiap akhir pekan adik manisku ini menginap di tempatku. Sore ini kami menghabiskan waktu diruang tengah. Papa yang sedang asyik membaca koran sore melirik kami berdua

"Nggak boleh pacaran lho?" tegasku

"Apa Papa Ahmad ngelarang yah!" Nirina memandang Papaku meminta jawaban. Kulihat Papa membetulkan letak kacamatanya. Aku cuma tersenyum.

"Ngelarang sih nggak. Cuma coba Nirina pikir baik-baik. Menurut Nirina pacaran ada gunanya nggak?"

"Yah banyak dong kak! Ada yang bantuin kerja peer, ada yangn ganterin, ada yang bayarin. Ih pokoknya banyak deh Kak!" aku cuma tertawa kecil mendengar alasannya.

"Nirina emang udah punya pacar?" balik aku yang bertanya. Dia mengernyitkan dahi.

"Hmmm, belum jadian sih kak. Baru pdkt gitu deh!" ucapnya malu-malu PDKT, jadi ingat reptil-reptil itu. Biasanya aku yang membantu mereka mendekati gadis-gadisnya. Oh ya tentang mereka, aku masih sering smsan ama Prima, dia malah sempat protes dengan penampilanku. Aku masih ingat suatu sore saat dia mengunjungiku beberapa saat setelah aku pulang.

"Non, ada yang nyariin!" Mbok lpah menyambutku siang Itu. Aku mengernyitkan dahi, seingatku aku tidak membuat janji apapun hari ini.

"Emang nggak bisa nelpon dulu kalo mo balik!" Prima menyambutku sambil tersenyum.

"Assalamu Alaikum, udah lama?" dia cuma mengangguk, masih terheran menatapku

"What wrong with you? Aku pikir semalam cuma pake kayak gitu coz kawinannya Wini emang ngewajibin!!!" serunya.

"Sendirian?" tanyaku mengabaikan kata-katanya tadi.

"Fitra...! empat tahun nggak ketemuan, reaksi kamu cuman gini!!!" protesnya

"Duduk dulu deh, aku harus ngejawab yang mana duluan nih!"

"Terserah! ! Aku cuman butuh penjelasan kamu!" dihempaskannya tubuhnya di atas sofa. Aku mendudukkan tubuhku di sofa yang lain. Pikiranku bekerja keras, gimana kalo Prima masih menganggapku Fitra yang dulu, gimana cara menghindarinya. Lama kami terdiam, kurasakan dia menatapku. Untung saja Mbok Ipah akhirnya muncul membawa minuman dan makanan kecil.

Perjalanan dua hatiWhere stories live. Discover now