Puzzle satu

77 1 0
                                    

Part 7

Puzzle satu

Puzzle yang kehilangan satu bagiannya

"Oh God.....!!!!" desisku saat kurasakan ada yang aneh dengan kuda besiku. Kutepikan sahabatku itu, keluar dan memeriksa keadaannya. Dan kudapati satu kaki bulatnya cacat. Ku cek sekali lagi... OK.. simple trouble! Untung saja ada serep di bagasi, pikirku.

Aku berjongkok dan memulai mengoperasi kaki kuda besiku. Hmm.. not bad. It's so easy.

"Assalamu Alaikum!" suara itu sentakkanku, padahal aku dalam konsentrasi penuh. Aku mengarahkan pandanganku pada sumber suara itu.

Cowok? OK positive thinking, girl! Semoga saja dia bukan tipe penggoda. Bicara tentang penggoda, ingatanku kembali beralih pada keempat "reptil" sahabatku. Tadi aku sempat bertemu mereka. Ternyata... Reptil bisa juga berubah. Yah, tentu saja. Bukankah dunia ini dinamis? Terus berputar? Aku bersyukur, dunia ini tidak statis. Kalau iya... sialnya aku!

Angin malam mempermainkan ujung jilbabku. Sunyi... senyap... gelap itulah malam, anginnya juga terasa menusuk.

"Maaf... ada yang bisa kubantu!" rupanya sumber suara itu masih kukuh di tempatnya.

"Oh thanks! I can do this by myself!" Ups ini bukan Amrik yah

"Aku bisa melakukannya sendiri!" jelasku lagi, berharap dia mau mengerti dan beranjak pergi. Selesai! Akhirnya terlepas juga. Hmm... tinggal mengambil serepnya, memasangnya lagi dan... kembali ke kamarku. Serepnya? Di bagasi. Aku bangkit dan....

"Permisi.. aku mau.... " Kalimatku terputus.

Sosok itu... tidak mungkin

"Fitra.... !Astagfirullahaladziim!!!" serunya kaget begitu melihatku dengan amat jelas. Kami berdua terpaku, untuk kemudian saling mengalihkan pandangan. OK... Please, jangan berdetak terlalu kencang. Nanti kedengaran! Umpatku pada organ pemompa darahku yang entah mengapa berisik sekali!

"Well... Hi Mif. Pa kabar!" akhirnya suara berhasil keluar dari keronggonganku. "Alhamdulillah, baik!" jawabnya singkat.

"Apa ada yang bisa kubantu?" tanyanya lagi. Sesaat dia menatap kaki bulat mobilku, pincang!. Dia kemudian berjongkok, aku mengernyitkan dahi.

"Hmm... serepnya ada di bagasi. Aku ambil!"

Dia langsung bangkit "Biar aku!" tukasnya cepat, aku cuma mematung, schok!!! Nggak nyangka kalo takdir menggiring kami bertemu kembali. Empat tahun, mungkin lebih... aku tidak pernah melihat sosoknya. Dia Miftah. Lengkapnya Muhammad Miftah Farid, teman sekampusku dulu, sebelum akhirnya Papa mendeportasiku ke Amrik. Dia... dia orang yang membuatku berfikir tentang hidup, tepatnya hidupku. Batu pijakan yang membuatku jadi seperti sekarang ini. Sadari kalau Allah SWT masih menyayangiku, lewat semua debat kusirku dengannya, lewat semua umpatanku padanya, bahkan lewat cacimakiku. Dan jangan salah, dia sabar sekali menghadapi kebadunganku bahkan serangan pertanyaanku. Semua diatasinya dengan tenang. Terkesan? Kagum? Tentu saja! Rasa itu sempat hinggap di hatiku. Walau beberapa tahun belakangan ini aku sudah memendamnya. Tapi bagaimana jika yang kau pendam, muncul kembali? Jangan tanyakan padaku, Ya ALLAH, tolong aku, kendalikan semua ini! Mataku tertumbuk pada lengannya, disana masih tersisa hasil kebadunganku. Bekas luka di lenganya masih terlihat jelas. Padahal waktu sudah begitu lama bergulir.

"Hmm... bekas, luka di tanganmu nggak hilang yah!"

"Oh ini.... !" Sesaat dia menatap lengannya, kemudian kembali di kesibukannya. Memasang ban serepku.

"Nggak dendam nih ma mobilnya!" pancingku lagi

"Mo ngebantuin pasang bannya lagi!" lanjutku.

"Ngapain dendam ma mobilnya. Emang yang salah nih mobil!" balasnya. Eh... maksudnya mobilnya nggak salah, tapi aku? "Kalo ama pemiliknya?" usikku lagi.

Perjalanan dua hatiWhere stories live. Discover now