Labirin empat

131 3 0
                                    

"Fit, jadi kan ikutan race nanti malam!" Prima menghampiri Fitra mendudukkan tubuhnya tepat disamping gadis itu

"Liat nanti deh kalo aku bisa minggat. Abisnya papa pulang sih!"

"Aku tungguin deh!" Prima bangkit dan meninggalkannya. What? Race... balapan maksudnya. Cewek ikutan balapan atau cuman nonton saja mungkin. Apa hubungannya denganku. Aku berlalu, meninggalkan ruangan kelas itu.

^-^

Gelap menyelimuti langit, sudah cukup larut. Karena keasyikan ngobrol dan berdebat aku sampai lupa harus segera kembali ke 'surga' kecilku. Ada beberapa laporan yang menunggu untuk diselesaikan. Kulajukan motorku menembus dinginnya malam. Kurapatkan jaketku. GRrrr... musim dingin begini paling tidak enak menyantap angin di malam hari. dingin banget!!! Di tengah desiran angin aku kembali merenung. Banyak hal yang harus kusyukuri, samapi-sampai terkadang aku merasa malu, jika teringat aku terlalu sering mengeluh. Mengeluhkan sesuatu yang amat sangat tidak penting Dari arah belakangku terdengar deru mesin yang berdengung keras. Dan tiba-tiba saja yang terdengar hanya dentuman....

^-^

Kusapukan pandanganku pada tempat asing itu, aku ada dimana? Kepalaku terasa berdenyut. Kuraba, kudapati perban menempel di sana. Ugh...badanku terasa rapuh.

"Hai Mif, syukur deh kamu sudah sadar!" mataku tertumbuk pada sosok yang berdiri di sisi tempat tidurku, dahiku berkerut. Kepalaku kembali berdenyut.

"Woiiii, kau nggak papakan. Ada yang sakit, aku panggilin dokter yah!" secepat kilat dia menghilang. Aku masih belum bisa mencerna apa yang telah terjadi. Secepatnya kuputar memoriku, apa yang terjadi. Seingatku.... Jazz metalic yang meluncur tajam ke arahku. Dan dia? apakah dia yang..... Drerrrttt... pintu putih di ruangan itu berderit. Selanjutnya muncul seorang pria setengah baya terbalut baju putih kemudian berjalan mendekatiku. Disusul wajah yang begitu ku kenal.

"Temanmu tidak apa-apa. Dia hanya butuh waktu untuk istirahat" dokter itu memeriksa kepala dan lenganku yang juga terbungkus perban. Dan aku masih belum dapat bersuara. Kugerakkan lenganku, rasanya ada yang bergeser di dalam sana. Mungkin patah! Suster memperbaiki letak jarum infusku, kemudian mereka berdua beranjak pergi.

"Thanks dok!" gadis itu mengiringi dokter plus asistennya itu keluar dari kamarku.

"Sory... udah buat kau kayak gini!" dia kembali ke sisi tempat tidurku. Oh jadi dia yang membuatku berada di sini. Hampir saja aku mengumpatnya, syukurlah pikiran jernihku masih berfungsi. Mungkin ini cobaan dari Nya.

"Kau sih yang salah, napa juga bawa motor nggak ati-ati" hah! Aku yang salah. Teori apa lagi ini. Aku korbannya, tapi aku yang salah.

"Kalo hati-hati, jidatku juga nggak bakalan kayak gini!" ada perban kecil di dahinya memang, tapi dibandingkan perbanku banyakan mana? Dret! Pintu kamarku terbuka tiba-tiba. Mata kami berdua beralih kearah deritan itu.

"Miftah... kamu nggak papakan. Aku sudah menghubungi orang tuamu!" sergah Zaenal, langsung menempatkan dirinya di sisi tempat tidurku. Fitra bergeser.

"Bagaimana keadaanmu!" tanyanya masih dengan nafas yang memburu. "Alhamdulillah, nggak papa. Yah cuman lecet dikit!" kuangkat lenganku yang terbungkus perban sambil tersenyum padanya.

"Terima kasih yah, sudah datang!"

"Ok... aku balik dulu. Kau kan udah punya teman!" aku dan Zaenal terperanjat. Kami lupa kalau sejak tadi dia di sana.

"lain kali hati-hati kalo bawa motor! Sory aku bikin kau lecet. Aku sama sekali nggak ada niat buat...."

"Kamu nggak salah kok! Ini cobaan buatku!" potongku cepat.

Perjalanan dua hatiWhere stories live. Discover now