"I-itu...-"

"Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiranmu, Harry." desah Grace perlahan, dia menghela napas panjang seraya menggelengkan kepala dengan heran. "Semua orang di dunia ini pasti pernah terlibat dalam perbuatan tercela. Tapi yakinlah, tidak ada orang yang mau dilahirkan ke dunia ini dari keluarga terhina yang telah menghancurkan keluarga orang lain. Jika kau menuruti hawa napsumu untuk membunuhnya, maka kau orang bodoh yang hanya memikirkan kejahatan tanpa melihat setitik kebaikan di dalam hatinya."

Sialan. Apa yang dikatakan Grace memang benar. Gadis itu tidak seharusnya menerima ganjaran atas perbuatan hina yang dilakukan mendiang ayahnya. Ellie berhak melanjutkan kehidupannya meski pada akhirnya aku sendiri yang tersiksa lantaran harus menahan emosiku untuk tidak menyakitinya.

***

Ellie's POV

Sekujur tubuhku terasa lemas dan mati rasa, seakan-akan telah berubah menjadi jelly. Aku mencoba menggerakkan tangan dan kakiku, tapi hasilnya nihil. Seolah aku kehilangan kuasa atas seluruh organ tubuhku sendiri. Apa ini? Apakah aku mengalami luka yang serius akibat tembakan itu? Atau apa sekarang aku berada di awang-awang kegelapan dengan sesosok malaikat maut yang akan membawa jiwaku ke neraka?

Tidak. Tidak bisa. Aku tidak bisa pergi begitu saja dengan cara yang tidak pantas. Ini semua terlalu cepat dan aku tidak mungkin menyerahkan nyawaku kepada malaikat itu dengan mudahnya. Aku berubah panik ketika malaikat serba hitam itu melangkah mendekatiku. Dia membawa pisau besar yang berlimang darah hingga menetes mengenai pakaiannya. Aku mengingatnya. Ya, darah itu! Tiba-tiba aku bisa mendengarkan suara senapan yang berhasil mengenai lenganku saat itu.

Aku semakin panik. Aku berusaha bergerak menjauhi malaikat itu dengan mengerahkan seluruh tenaga yang masih tersisa. Namun itu semua percuma. Gelombang gelap semakin menekanku dan seketika itu pula aku hanya bisa meringkuk, memasrahkan semua hal yang akan menimpa diriku. Baru sedetik aku berserah diri, aku mendengar suara seseorang bergumam di dekatku.

Aku mendengarnya. Suara Harry terdengar jelas dan nyata. Apakah dia menangis? Orang seperti dia menangis karena aku? Ah tidak, mana mungkin dia menangis karenaku. Pasti ini hanya khayalan belaka. Tapi tidak bisa terelakkan lagi, suara Harry memberikan motivasi tersendiri untukku.

Bak mendapat secercah harapan, aku menarik napas dan berusaha berteriak sekencang-kencangnya. Aku kembali mengerahkan seluruh tenagaku untuk mengangkat tangan maupun kakiku, namun ketika aku berhasil menggerakkannya, segalanya berubah jadi tidak terkendali. Tanganku terangkat kuat bersamaan dengan tubuhku yang berdiri tegap, kemudian menghantam lingkaran hitam di sekitarku sehingga membuatnya pecah.

Kegelapan tadi mendadak berubah menjadi kilatan cahaya perak yang kelewat menyilaukan mata. Rasanya cahaya itu seperti mata pedang tajam yang bisa mencincang pandanganku. Namun ketika aku mencoba menutupi mataku menggunakan lengan, cahaya perak tadi menghilang seketika, berubah menjadi pendar lampu di atas kepalaku. Aku terbangun cepat dengan napas yang terengah. Samar, aku melihat bayangan wajah Harry yang tengah menatapku dengan raut wajah yang tidak terbaca.

"Ellie..." Lagi-lagi, suaranya terdengar begitu jelas dan nyata. Aku bersumpah suara itu adalah suara terindah yang pernah aku dengar.

Aku tidak bisa membuka mulut untuk membalasnya. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku. Rasa-rasanya aku telah kehilangan peredaran udara di sekelilingku. Hingga tak lama, aku merasakan telapak tangan besar memeras tanganku dan tanpa melihatnya pun aku tahu tangan besar itu adalah tangan Harry. Aku mencoba mengulum senyum lebar pada wajahku, meski aku tahu senyumanku hanya akan terlihat seperti senyuman pahit.

"Kau sudah bangun." katanya lagi, sembari melemparkan senyuman tipis pada bibir penuhnya.

"Apa aku mati?"

CRUSHEDWhere stories live. Discover now