Chapter 22

5.5K 468 22
                                    

Astaga... Aku benar-benar merasa sangat gugup bahkan sejak sore tadi ketika aku baru tiba di apartemen. Setelah bersusah payah melawan dewi batinku agar tetap menolak permintaan Zayn, akhirnya aku menyerah. Aku menerima ajakan Zayn dan memperbolehkannya mengantarku pulang ke apartemen. Dia juga sempat mengatakan bahwa dia akan mengajakku pergi makan malam jam 8 nanti. Ya, makan malam! Entah Zayn menganggap semua ini hanya makan malam biasa atau sebuah pendekatan—maksudku kencan pertama kami, aku tidak peduli. Yang jelas semua ini merupakan awal yang baik bagiku dan juga Zayn.

Malam ini aku lebih memilih mengenakan dress putih tanpa lengan yang jatuh tepat di pertengahan paha. Tidak ada manik-manik maupun hiasan lain yang terpatri pada dress ini sehingga terlihat sangat simple dan sederhana, namun entah mengapa aku justru sangat menyukainya. Bagian leher dari dress ini berbentuk V yang tidak begitu rendah jadi kupikir dress ini tidak terlalu terbuka dan cocok digunakan saat acara-acara santai semacam ini.

Aku juga menyempatkan diri memoles beberapa alat make up pada wajahku untuk menunjang penampilanku malam ini. Memang tidak terlalu tebal, karena aku sendiri tidak mahir dalam hal merias diri. Biasanya kalau aku hendak berpergian atau mendatangi acara-acara tertentu, ibu lah yang membantuku merias diri dan memilih setelan apa yang cocok kukenakan, lain halnya dengan saat ini. Sekarang aku harus melakukan semuanya sendirian. Akan tetapi kurasa hasilnya tidak terlalu buruk seperti yang telah kuduga sebelumnya.

Kini aku tengah mengucir rambutku menjadi satu karena rambutku terlalu panjang dan susah diatur. Mungkin aku akan sedikit merapikannya saat mempunyai waktu luang untuk mampir ke salon terdekat. Setelah puas menatap pantulan diriku sendiri pada cermin rias, aku segera bangkit dari tempatku dan meraih sepasang high heels hitam dari rak sepatu. Aku memakainya lantas langsung melesat ke ruang tengah dengan membawa serta tas kecil yang menggantung pada bahu.

Jam dinding menunjukkan pukul 8, itu artinya Zayn akan tiba di apartemenku beberapa detik lagi atau bisa saja dia malah sudah tiba di sini. Aku menunggu dalam gelisah seraya berjalan mondar mandir di tempatku. Malam ini seluruh penjuru Los Angeles diguyur hujan yang berfrekuensi deras disertai angin kencang. Kendati suasana malam ini sangat tidak bersahabat, para penduduk Los Angeles tidak menjadikannya sebagai penghalang untuk melakukan pekerjaannya masing-masing, seperti halnya dengan Cara. Malam ini dia tetap bekerja meski aku sudah melarangnya berkali-kali.

Berbicara mengenai suasana malam ini, aku jadi bertanya-tanya mengenai keadaan Zayn sekarang. Setahuku Zayn adalah orang yang tepat waktu dan jarang sekali terlambat. Bahkan saat pengumpulan tugas, dia lah orang pertama yang mengumpulkan tugas tepat waktu dibandingkan dengan mahasiswa-mahasiswa yang lain. Sama halnya ketika dia berjanji, maka aku yakin dia akan menepatinya. Tapi entah mengapa hingga saat ini Zayn tak kunjung tiba di apartemenku. Oh, ya Tuhan... Dalam sekejap pikiran-pikiran buruk tentang Zayn menyerbu otakku. Di mana dia sekarang? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia mempunyai masalah saat sedang dalam perjalanan menuju kemari?

Sialan. Aku merasa gelisah dan tidak bisa tenang lantaran memikirkan dirinya. Kalau begini aku tidak mungkin hanya menunggu kedatangan Zayn dengan duduk-duduk manis di atas sofa atau berjalan mondar mandir di tempatku. Aku harus melakukan sesuatu. Ya, itu benar. Tapi apa? Otakku benar-benar buntu dan tidak tahu harus bagaimana. Cara pergi ke toko buku Cody menggunakan mobilnya, jadi aku tidak punya kendaraan lain untuk berpergian. Kalau aku menggunakan bus atau angkutan umum lain, kurasa malah menambah rumit masalah ini. Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?

Dalam sekejap satu buah ide terlintas dalam otak kecilku. Kontan aku segera merogoh tas yang kubawa dan mengeluarkan ponselku dari sana. Dengan cekatan aku mencari nama kontak Zayn pada daftar nomor telepon dan segera menghubunginya. Nada sambung pertama sudah berbunyi ketika ponsel tersebut kutempelkan pada daun telinga. Nada sambung terus berbunyi—yang menandakan Zayn belum menerima panggilanku—dan selama itu pula perasaan gelisah yang kualami semakin menjadi-jadi.

CRUSHEDWhere stories live. Discover now