#8 [Bad Luck]

3.4K 187 4
                                    

Aku merebahkan tubuhku diranjang kamarku. Hari ini benar-benar tak terduga. Air mataku sudah terkuras dan rasanya aku sudah muak untuk menangis. Tapi tetap saja kalau dipikirkan aku tetap mau menangis. Tapi kata-kata Langit rasanya bisa menjadi obat penenang yang mujarab.

Aku menghela nafas, aku merasa menjadi orang jahat sekarang. Sekarang aku memikirkan Langit, bukan Tasya atau Radit. Terutama Radit, orang yang harusnya benar-benar memenuhi kepalaku sekarang. Harusnya sekarang aku menangis gila-gilaan sambil memaki-maki mereka, anehnya aku tidak melakukannya. Patah hati yang ini jauh lebih menyakitkan ketimbang patah hati lalu-lalu yang pernah kualami. Karena ini melibatkan banyak orang. Radit, sahabat-sahabatku, semuanya membohongiku. Walaupun Yasmin sekarang sudah tak kuhitung.

Tapi tetap saja berbeda, karena ada orang baru yang membantuku untuk bangkit. Yep, Langit. Kalau tidak ada dia aku tidak tahu apa nasibku sekarang.

Mungkin kalian menganggapku bodoh karena seharusnya aku senang bisa melupakan hal itu. Tapi, tidakkah aku seperti orang jahat? Aku memikirkan Langit, seharusnya Radit. Rasanya aku sama saja dengan Radit. Tapi, semakin dipikir, semakin aku tak peduli. Aku terus menyangkal kalau aku memikirkan Langit. Ini memalukan. Tapi lagi-lagi aku tak peduli dan kembali larut memikirkan laki-laki yang akhir-akhir ini menghantui pikiranku, mungkin kalian akan mengira kalau aku sama busuknya dengan Radit dan Tasya, dan untuk kesekian kalinya, aku tak peduli.

Biarlah Radit dan Tasya berbahagia, mana bisa aku membenci mereka? Maksudku, aku tentu membenci mereka. Hanya saja tak sebesar aku menyayangi mereka. Jika mereka bahagia, kenapa aku harus datang dan menghancurkan itu semua? Tasya sahabatku, dan Radit adalah orang yang (dulunya) aku sangat cintai hingga rasanya mungkin bagiku untuk menyembahnya. Kenapa aku harus membenci mereka? Tasya adalah sahabatku, aku yakin dia akan merasa sangat berdosa jika harus mengatakan kalau ia juga menyukai Radit padaku. Kalau aku diposisinya, apakah aku akan mengatakan pada diriku kalau aku menyukai Radit? Tasya sudah berakting sangat bagus, bayangkan betapa sakitnya ia ketika ia harus menenangkanku soal kabar kedekatan dia dan Radit, juga membantuku untuk mendekati Radit, walaupun munafik, dia berusaha membuatku tenang dan bahagia.

Sekarang, aku diselimuti rasa bersalah, sedetik kemudian, aku berpikir kalau aku terlalu baik dan naif, detik berikutnya aku merasa harus mengatakan pada mereka bahwa aku menesal. Wah, putus cinta kali ini benar-benar tidak terduga, kenapa tidak semenyesakkan yang lalu-lalu walau memang terasa sangat perih? Apa rasa yang kurasakan pada Radit belum pantas disebut cinta? Mengingat itu, membuat pikiranku melayang-layang pada langit. Demi Tuhan aku tidak tahu kenapa pikiranku selalu berujung padanya. Diam-diam aku bersyukur karena Tuhan mengirimkan dia padaku.

***

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, aku menatap langit-langit kamarku. Sinar matahari yang menembus melewati jendela kamarku yang tirainya lupa kututup itu menerpa wajahku.

Dua hari ini aku tidur cukup nyenyak, kalau boleh jujur, aku benar-benar tidur dengan nyenyak. Aku tidak bermimpi apapun, tidak menangis atau begadang semalaman. Hebat bukan? Padahal kalau aku patah hati biasanya besok harinya aku akan sakit karena tidak tidur semalaman. Aku benar-benar tidak mau memikirkan apapun yang terjadi kemarin, hanya saja bayangan itu kembali muncul, bukan saat aku bertemu dengan Tasya dan Radit, malahan ketika aku bersama dengan Langit!

Kalian tahu apa yang membuatku gusar? Aku benar-benar malu sampai memikirkannya saja membuatku mau menangis. Kemarin, aku, menangis dengan wajah yang kuyakini sangat mengerikan di depan Langit. Ini benar-benar memalukan! Aku bahkan tak memiliki nyali untuk bertemu lagi dengannya.

Pintu kamarku tiba-tiba terbuka, bukan Ponyon, tapi mama. Kenapa dia belum berangkat? Biasanya dia sudah berangkat ketika aku baru bangun tidur. Mama berjalan mendekat, wajahnya terlihat seperti beruang yang kehilangan ikannya. Dia menarik selimutku lalu melemparnya ke lantai. Oh, ini buruk. "Mau tidur nyampe jam berapa?! Nggak sekolah?!" omelnya.

Belong To MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang