"Sampai kapan kamu pura-pura menutup mata seperti itu, Boy?" Will bertanya. Tajam. Adrian menghembuskan nafasnya kesal. Dia mengerjap lalu membuka mata.

"Kan gue nggak bilang kalau gue setuju ikutin permainan lo sama bokap gue, om!" Adrian mengeluh. Will menaikkan alisnya. Tersenyum sinis seperti biasa.

"Terserah, tapi kalau kamu masih mau hidup enak silakan putuskan ingin ikut atau tidak!"

"Gue males ngurusin bisnis. Cita-cita gue cuma satu. Gue akan tinggal di tempat yang jauh, gue bakalan bikin toko, jualan buat mencukupi kebutuhan gue. Gue nggak minat sama perusahaan. Gue juga nggak minat diajarin bisnis sama lo..."

"Bukan kamu yang memutuskan. Ini bukan soal kamu minat atau tidak. Tapi kamu harus melakukannya!"

"Gue nggak sudi diatur-atur!" Adrian bangkit dari sofa dan melangkah ke arah pintu. Tapi... cklek.. cklek. Oh, god! Welcome to the real world!

"Kamu tidak akan bisa keluar dari sini sebelum menuruti perintah saya!"

Adrian menoleh ke arah Will dengan tatapan kesal. Dia mengernyit tak suka. Sejak kapan hidupnya tergantung pada orang ini? Siapa memangnya dia? Jangan-jangan papanya punya hutang pada om ini, makanya dia dijadikan jaminan sekarang?

"Berapa?" Adrian memijat pelipisnya gemas.

"Hm?"

"Hutang bokap gue ke lo. Berapa? Berapa juta? Atau milyar? Triliyun?"

Will tertawa kencang. Dia benar-benar tidak tahu harus bereaksi apa. Adrian kecil tumbuh jadi cowok SMA yang agak manja, cuek, pemberontak dan... polos.

"Papa kamu nggak punya hutang apapun sama saya..."

"Lalu? Alasan papa nitipin gue ke lo apa?"

"Saya sudah bilang kan dari awal kalau...."

"Lo mau didik gue biar pinter bisnis. Lo dapat apa emangnya dengan lakuin itu?"

Will tertawa lagi untuk yang kesekian kalinya. Mungkin Adrian memang melupakannya. Benar-benar melupakannya. Dia tak tahu bagaimana harus menjelaskan pada Adrian tentang siapa dia. Tidak, dia tak akan pernah melakukannya. Biarkan Adrian mengenalinya sendiri. Juga, dia hanya cemas kalau Adrian akan kembali manja kalau ingat siapa dia.

"Jadi, di sinilah kamu hidup mulai sekarang. Setelah pulang sekolah dan makan siang, pelajari dokumen-dokumen ini..."

"Lagi?!!" Adrian menjerit tak terima. Dia sudah mempelajarinya kemarin. Dia sudah membacanya. Berulang kali, hingga matanya berat dan tertutup dengan sendirinya. Bahkan dia sama sekali tak paham. Yang dia tahu hanya ada angka di kertas-kertas itu. Yang dia tahu, angka di kertas itu adalah uang. Bahkan dia kesulitan mengejanya. Berapa milyar? Apa itu triliyun? Pengeluaran untuk alat tulis kantor mencapai seratus juta rupiah. Alat tulis seperti apa itu? Apa tiap tintanya terbuat dari emas?

"Gue udah baca kayak gituan dari kemaren! Gue udah capek!!," ucapnya lagi sambil mencengkeram kedua telinganya.

"Duduklah!" Will memerintahkan Adrian untuk duduk di depannya. Adrian menurut meski dia sempat menggerutu. "Jadi, apa yang kamu pelajari dari dokumen kemarin?" Will menaikkan alisnya. Dia tak akan pernah melupakan raut muka Adrian kemarin. Meski anak itu sempat protes, tapi saat matanya menelusuri dokumen di depannya... Will menangkap sesuatu dari rautnya. Adrian paham. Adrian mulai tertarik dengan bisnis. Bahkan Adrian juga sesekali memberikan tanda tanya besar pada sebuah neraca rugi laba perusahaan. Dia melingkari beberapa angka karena dia pikir itu mencurigakan.

Hello, Boy!Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin