Chapter 2

21.1K 1.9K 90
                                    


#Mind Your Own Bussiness, dude!

Adrian hanya membisu. Pengawal bayaran itu setia membuntutinya ke sekolah. Dia tak tahu kenapa dia harus diawasi begini. Setahunya, selama beberapa tahun ini dia sudah hidup damai. Ini Indonesia, guys... Maksudnya, kalau di luar negeri begitu kan pantas kalau ada anak pejabat yang diawasi dan dikawal. Tapi kalau di Indonesia... sumpah, itu malah aneh dan memuakkan.

"Jadi, sampe kapan lo-lo semua mau buntutin gue?" Adrian kesal. Matanya menatap pengawal-pengawal itu dengan wajah marah.

"Ini perintah dari..."

"Gue nggak peduli, mau perintah dia atau apapun...! Ini sekolah, jadi gue nggak suka kalau kehidupan pribadi gue juga dicampurin kayak gini!"

"Tuan hanya cemas kalau..."

"Gue kabur? Pertama, gue nggak punya duit buat kabur. Kedua, temen? Temen gue nggak bakalan mau temenan sama orang bokek kayak gue. Ketiga... gue nggak punya tujuan juga..."

Mereka menatap Adrian dengan raut tak percaya. Adrian mengernyit gemas.

"Kenapa lo nggak percaya? Pulang sana!!," ucapnya lagi. Para pengawal bayaran itu ragu, namun kemudian Adrian berteriak lagi. Kali ini dengan nada yang sudah tak lazim untuk dikatakan teriakan. "Gue bilang pergi!! SEKARANG!!"

Seisi kelas membisu. Mereka menatap Adrian yang sedang menggeram di bangkunya. Wajah cowok itu mengeras. Setahu mereka, Adrian memang anak yang kaku. Ketus. Agak sedikit sombong dan manja. Hanya satu yang bisa bertahan berada di sampingnya. Teman satu-satunya Adrian. Itu juga kalau Adrian masih ingat. Sayangnya teman itu sedang sakit dan masuk rumah sakit beberapa hari yang lalu. Adrian tak ingin menjenguknya. Simple. Dia hanya tidak ingin temannya itu menganggapnya serius ingin berteman dengannya.

Adrian memijat pelipisnya gemas. Dia tidak tahu harus mulai darimana. Ini benar-benar merepotkan. Dia hanya tak ingin kehidupan pribadinya dicampuri seperti ini. Pertama, Papanya melakukan hal yang aneh tanpa seizinnya. Kedua, dia dititipikan di tempat aneh itu juga. Ketiga, Adrian sepertinya pernah melihat wajah om itu. Iya, Will. Dia pernah melihatnya. Entah kapan. Dimana. Dia lupa.

"Hei...!" Suara itu lagi! Entah berapa kali dia merasa muak dengan suara ini. Suara teman sebangkunya yang sok ramah. Setahunya dia kan masih sakit dan masuk rumah sakit. Adrian menoleh datar.

"Udah sembuh?" Adrian sekedar berbasa-basi. Teman sebangkunya itu mendudukkan pantatnya di samping Adrian. Siapa ya namanya.. Adrian mencoba mengingat. Setahunya namanya berawalan dengan huruf G. Iya, huruf G. Gusta? Iya, mungkin!

"Ada PR?" Gusta bertanya sambil tersenyum. Adrian menggeleng singkat. Jelas sekali kalau dia tak ingin bercakap-cakap lebih lama dengannya. Gusta masih belum menyerah rupanya. Dia mendekat ke arah Adrian, tentu dengan senyum memuakkan itu. Adrian curiga. Jangan-jangan cowok ini ingin mengajaknya mengobrol! Adrian sudah memasang wajah ngeri. Jijik. Ogah. Mind your own bussiness, dude!

#You! Don't Dare to Touch Me!!

Adrian tidak tahu sejak kapan dia sudah berada di tempat ini. Setahunya tadi dia masih tertidur di kasurnya. Kasur asing. Kasur bukan seperti dugaannya. Bukan bed king size. Bukan! Tapi malah kasur. Kasur yang sudah agak kempes. Adrian tidak tahu sejak kapan hidupnya jadi semiskin ini. Padahal dia tinggal di istana. Ruangan para pelayan juga lebih baik daripada kasur miliknya. Ini tak adil! Kalau papanya tahu, apa mungkin papa akan membelanya? Ah, mana mungkin! Kan papa juga yang menitipkannya di sini. Lalu sekarang tiba-tiba dia sudah pindah dari kasurnya itu ke sofa empuk di ruang kerja Will.

Hello, Boy!Where stories live. Discover now