1

866 51 18
                                    

24 Maret, 2050....

Rumah Sakit, yah, kami sedang berada di Rumah Sakit. Aku mengantar Ibuku yang sepertinya jelas sedang sakit. Ibu sedang diperiksa di ruangan seorang dokter yang tergolong sudah paruh baya. Aku disini, tepatnya di lorong rumah sakit. Jika kalian ingin mengetahui lebih detail, aku berada di depan pintu ruangan dokter tersebut.

Dengan ditemani kakak perempuanku yang bisa kalian panggil Arisa, dan juga adikku, Misa. Kami duduk dalam diam, lorong ini terasa begitu sepi, tak ada keributan di sini.

Hening, kata ini pantas untuk menggambarkan suasana sunyi nan mencekam. Entah aku saja yang merasakan hal ini, tapi terlihat dari raut wajah kedua saudari ku yang sangat waspada dan siaga. Yah, aku belum mengenalkan namaku, kalian bisa memanggilku Miharu.

Sebelum itu, aku ingin menceritakan hal aneh nan mengganjal di pikiranku. Ibuku sepertinya mengalami gangguan jiwa, bukan maksudku untuk menjadi anak durhaka, tapi memang seperti itu kelihatannya. Hingga kini aku bahkan tak mengetahui dimana Ayahku bekerja.

Tapi di ruang kerjanya, aku pernah melihat jas laboratorium bertengger manis di balik pintu ruang kerjanya yang sangat 'rahasia' itu. Dan tentu saja spekulasi mengatakan bahwa pekerjaan ayah adalah sesuatu yang berhubungan dengan lab.

Sebulan lalu, ayahku memberikan kami senjata, sejenis pisau tapi bukan pisau dapur tentunya. Di pisau itu terdapat sebuah lambang yang sampai saat ini pun aku tidak tau maksudnya.

Ayah selalu mengatakan bahwa kami bisa menjaga diri dengan pisau tersebut, dan sejak itulah ibu selalu melatih kami untuk bisa menggunakan pisau itu secara efektif.

Hingga 2 minggu kemarin, Ibu seperti orang yang mengalami gangguan jiwa. Ia selalu berkata tentang zombie, iblis, vampire dan semacamnya.

Kami tau Ibu hanya terlalu banyak membaca buku fantasy seperti itu. Tapi saat Ibu sering membicarakan itu, saat itu pula ayah menghilang entah kemana. Ayah tak pernah pulang, ocehan Ibu tentang makhluk fantasy itu semakin menjadi-jadi, Ibu menjadi 'over protective' pada kami. Dan siang tadi, Ayah tiba-tiba menelepon rumah kami.

Dan kalian tau Ayah katakan?

Dia mengucapkan kalimat per kalimat dengan suara yang sangat parau.

Ayah hanya berbicara dengan perlahan seakan ia tak ingin ada seorang pun yang mendengarkan. Ia memberikan kami perintah untuk membawa Ibu ke rumah sakit dan menjaganya dari apapun yang mengancam.

Aku sempat bingung, dan sebelum aku dapat menjawabnya, Ayah sudah memutuskan sambungan telepon itu.

Mari kita kembali pada kenyataan, aku masih duduk dalam diam. Hawa gelap terasa disekeliling kami. Pintu itu terbuka, memperlihatkan lelaki tua dan Ibu yang mengikuti dibelakangnya.

Lelaki tua itu berbicara dengan Arisa tentang kondisi Ibu. Sementara Misa dan tentunya diriku sendiri segera mendekati Ibu yang kini berwajah pucat dengan raut wajah gelisah. Ku sampirkan mantel coklat di tubuhnya. Ibu menatapku dengan horror.

Terkadang pandangan seperti ini membuatku ingin melarikan diri. Tatapan Ibu sangat hampa. Ia menatap ujung lorong dengan seksama.

"Ia disini"

"Wh.."

Aku yang tak mendengar Ibu secara jelas akhirnya ikut memperhatikan dinding di ujung lorong. Lalu ku tatap kembali raut wajah Ibu. Ia menatap dinding itu dengan ketakutan.

Tepat pada saat itu juga, dentuman keras memekakan telinga terdengar di ujung lorong. Ledakan yang tak terlalu besar namun berhasil menciptakan lubang di ujung sana. Arisa terkejut dan segera melindungi dokter tua itu.

Misa melangkah cepat untuk menghalangi Ibu agar ia bisa terlindungi. Sementara aku sudah mengeluarkan sepasang pisau dan menggenggamnya seerat mungkin.

Sekarang, aku merasa indra pengelihatanku ini mengkhinati diriku. Makhluk yang berdiri disana, di ujung lorong yang penuh dengan pecahan kaca, dia- bukan bukan dia, maksudku mahkluk itu adalah ZOMBIE.

Dengan luka yang muncul di wajahnya, bau amis yang menyeruak ke dalam indra penciuman. Kalian bisa menyebutku bodoh, tapi pada kenyataannya aku melihat sosok itu.

Dengan mata yang terbelalak sama seperti saudari-saudariku, kami tak dapat merespon apa yang terjadi. Orang-orang yang ada didalam ruangan berhamburan keluar untuk memastikan dentuman apa itu.

Sepersekian detik, aku mendengar teriakan dan rintihan memilukan keluar dari umat-umat yang sedang berlarian menjauhi sesosok makhluk itu. Sosok itu hanya diam membisu, aku segera memerintahkan Ibu dan saudari ku untuk pergi dari sini.

Sampai zombie lain terus memasuki lubang tersebut. Bisa dilihat dari raut wajah Misa yang sedikit ketakukan melihat mereka. Aku dan Arisa dengan cekatan mendorong Ibu, Misa, bersama dokter tua itu untuk pergi dari tempat ini.

PRANG!!

Hatiku terhenyak ketika mendengar kaca jendela pecah kembali, aku terus mendorong keluargaku ini untuk segera berlari secepat mungkin, tidak menghiraukan perasaan dalam diriku yang berkecamuk tak jelas.

Tak terhitung lama sejak pecahan kaca kedua terdengar, sebuah tangan kokoh bertengger di bahuku. Sontak ku todongkan sejataku, berniat untuk segera membunuhnya.

Tapi, dengan ekspresi wajahku yang sangat tidak jelas ini, aku melihat sesosok pria. Pria tampan.

Tunggu! Tampan?

Sejak kapan aku bisa membedakan antara tampan atau tidak. Yang jelas ia segera mendorong keluarga ku agar menjauh dari segerombolan zombie itu.

Pasien yang tertinggal di belakang kami hampir tidak ada yang selamat. Orang-orang memilih menggunakan lift. Menurutku, lift tentunya lebih berbahaya. Kami segera menuruni tangga darurat. Entah kenapa, Ibu terdiam sejenak.

"IBU! Ayo cepat! Ibu sadarlah! Makhluk yang Ibu sering bicarakan ada di depan mata kita! Cepatlah Ibu!"

Arisa berteriak sembari mengguncang-guncangkan tubuh ibu. Kulihat matanya yang menatap kosong ke depan.

"Arisa, kau tak perlu membentak Ibu seperti itu."

Ku sentuh pundaknya dengan maksud untuk membuatnya tenang. Ia menepis lenganku.

"Ma'am"

Pria itu -yang belum aku kenal namanya- memegang bahu ibu. Ia menyuntikan sesuatu di leher ibu. Membuat kami tercengang dan secara spontan Arisa mendorong pria tersebut. Tak jauh berbeda dengan ekspresi lelaki tua yang di balut oleh jas lab, ia tampak kebingungan.

Sepersekian menit, ibu mengalami kejang-kejang yang hebat. Kami panik bukan main, tapi tidak dengan pria tersebut. Ibu terkulai lemas di lantai, dan tiba-tiba saja ibu kembali bangun.

Tetapi sesuatu yang aneh dilakukan Ibu. Kita bisa melihatnya mengeluarkan senjata di balik mantelnya. Mata yang tajam penuh dengan potensi-untuk-membunuh inilah yang membuat bulu roma kami berdiri.

"What? C'mon. What are you waiting for? Let's move!"

Ujarnya dan dengan gesit melompati tangga. Meninggalkan kami yang kini diam membisu.

------------------------------------------------------

Well, special gratitude for rosellaasav who still waiting for this story. Although it took a long time to publish this story. Llp. Hope u like it.

REACT | Mystery Behind the ExtinctionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang