Terima Kasih yang Keempat

32.3K 3.4K 213
                                    

Bel istirahat berbunyi dan kelas langsung berisik. Bunyi kursi dan meja yang bergeser terdengar di mana-mana. Begitu guru keluar dari kelas, aku dan teman-temanku pun ikut keluar, meninggalkan meja dan kursi yang berantakan di dalam.

Di depan kelas, seperti biasa, aku bertemu Rafa. Kelas Rafa memang searah dengan kelasku, dan setiap istirahat, dia pasti menungguku keluar dulu. Teman-temanku yang lain tidak ada yang sekelas denganku dan yang kelasnya searah denganku cuma kelas Rafa. Jadi aku selalu ke kantin bersama Rafa.

Sambil berjalan ke kantin, Rafa membuka percakapan di antara kami. "Jadi, Askar naksir Talia."

Aku mengangguk. Benar. Askar mengatakannya di rumah Gilang beberapa hari yang lalu.

"Iya, kenapa?" tanyaku.

"Lo bukannya suka sama Askar?" tanya Rafa.

Oh, iya! Aku lupa. Rafa kan selalu berpikir aku suka Askar. Dalam hati aku tertawa dengan miris.

*

Januari 2013

"Menurut lo, Askar itu gimana orangnya?" tanya Rafa kepadaku sepulang sekolah.

Aku dan Rafa baru saja sampai di rumahku. Kami masih mengenakan seragam putih-biru. Karena di rumah waktu itu tidak ada Kak Sarah atau orangtuaku yang suka mengomeli kami kalau main-main sebelum mengganti seragam, kami bebas tidur-tiduran di sofa ruang keluarga dengan seragam yang masih kami kenakan.

"Baik-baik aja. Kenapa emang?" tanyaku sambil meraih remote televisi dan mencari-cari saluran yang bisa kutonton.

Aku dan Rafa sudah mengenal Askar selama beberapa bulan. Kami bertiga sekelas di kelas tujuh ini. Dan sejauh aku mengenalnya, Askar orangnya asyik, dan walaupun singkatan dan akronimnya kadang sangat dipaksakan dan aneh, tetap saja itu lucu dan konyol.

Di hadapanku, Rafa mengangguk-angguk. Cowok itu menatap televisi lewat kacamatanya, tapi sepertinya dia tidak memperhatikan televisi sama sekali.

"Lo suka dia ya, Del?" tanya Rafa.

Hah?! Aku langsung menatap Rafa. Terkejut. Kenapa dia berbicara seperti itu? "Enggak. Siapa bilang? Ngaco."

"Gue yang bilang," balas Rafa. "Yah, cuma nebak aja. Dari dulu lo kan enggak bisa deket sama cowok—paling sama gue aja. Tapi gue pengecualian. Dan Askar kayaknya cowok pertama yang deket sama lo selain gue."

"Kenapa lo pengecualian?" tanyaku.

"Karena gue temen lo. Temen dari kecil. Lo enggak bisa suka sama gue. Pokoknya, deket sama gue itu enggak dihitung. Askar cowok pertama yang deket sama lo," kata Rafa, bersikeras.

Aku menatapnya dengan bingung. "Emang kenapa, sih? Kok lo tiba-tiba ngomongin ini?"

Rafa mengangkat bahu. "Enggak apa-apa, sih. Cuma kalau lo beneran suka sama Askar, yah, seenggaknya gue akhirnya lega, lo enggak ke gue terus," katanya, bercanda.

Aku melempar bantal sofa ke arah Rafa, yang langsung dibalas oleh cowok itu. Percakapan tadi pun terlupakan.

Tapi mulai hari itu, aku selalu ingat kata-kata Rafa: "Karena gue temen lo. Temen dari kecil. Lo enggak bisa suka sama gue. Pokoknya, deket sama gue itu enggak dihitung. Askar cowok pertama yang deket sama lo."

Siapa bilang, Raf?

*

Oke, biar aku jelaskan secara singkat.

Thank YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang