It is better to be hated for what you are than to be loved for what you are not.
André Gide, Autumn Leaves
• σur rєd ѕtríng •
Seorang laki-laki duduk di sebuah kursi di lorong yang sepi dan mengganti tali sepatu putihnya dengan warna maroon. Sebagai siswa tahun pertama dalam masa SMA, sudah sewajarnya jika mereka harus melewati masa MOS. Walau SMA kalangan atas itu tetap mengusungkan MOS, tapi cara yang mereka lakukan cukup berbeda. Dibanding dengan sekolah lain yang murid-murid baru mereka menggunakan atribut konyol dan aneh, SMA mereka lebih mengusung kepada atribut yang unik dan langka.
Salah satunya adalah menggunakan sepatu putih dengan tali sepatu berwarna maroon yang blink-blink untuk cewek maupun cowok. Awalnya susah sekali mencari barang itu, karena selain mereka harus mencarinya sendiri, barang itu juga cukup langka. Untung saja sopir laki-laki itu cepat mengantarkan tali sepatunya yang ketinggalan di rumah itu. Padahal sudah susah payah ia mencari ke seluruh toko, bisa berabe kalau malah ketinggalan di rumah.
Dan karena sekarang atributnya lengkap, laki-laki itu berjalan dengan percaya diri menuju aula tempat mereka akan dikumpulkan sebentar lagi. Namun saat ia melewati toilet, tiba-tiba ia bertabrakan dengan seorang perempuan yang langsung menerobos keluar dari toilet.
Karena tidak sigap, dagu laki-laki itu langsung terkena hantaman dari bando maroon berbahan keras yang digunakan perempuan itu sehingga tanpa komando ia langsung mengaduh.
"Sori, sori, gue gak sengaja..." kata perempuan itu sambil menunduk. Laki-laki itu baru saja akan mengomel kesal kalau saja ia tidak menyadari bahwa suara perempuan itu seperti habis menangis.
"Lo gak papa?" Pertanyaan yang seharusnya terlontarkan kepadanya malah ia lempar balik ke perempuan itu. Perempuan itu memasang ekspresi kaget karena tidak menyangka reaksinya akan seperti itu. Lalu ia tersenyum.
"Harusnya gue yang tanya gitu." kata perempuan itu sambil terkekeh. "Kena dagu lo ya? Maaf ya, sakit gak tu?"
Laki-laki itu malah mengabaikan pertanyaan perempuan itu dan malah fokus dengan tali sepatu berwarna maroon dengan blink-blink yang sekarang sudah kotor dan robek-robek di tangan perempuan itu. Sementara sepatu putih yang gadis itu pakai tidak ada tali sepatu.
Jangan-jangan perempuan itu habis dijahili ya?
"Tali sepatu lo kenapa?" tanya laki-laki itu langsung. Perempuan itu langsung menyembunyikan tali sepatunya ke belakang punggung.
"Gak kenapa-kenapa kok." jawab perempuan itu. "Yaudah deh, kalau dagu lo ga kenapa-kenapa gue pamit pergi ya."
"Eh tunggu." Ia langsung menahan tangan perempuan itu. "Gue nanya, tali sepatu lo kenapa?"
Perempuan itu terlihat berpikir sebentar, seakan-akan ia sedang mengatur jawaban yang akan ia lontarkan. Jika laki-laki itu sudah bertanya dua kali, tentu ia tidak bisa berbohong lagi karena ia yakin laki-laki itu sudah menebak apa yang terjadi. "Udah biasa kok gue diginiin. Yaudah gue pergi dulu ya."
"Pakai punya gue aja." Laki-laki itu langsung berjongkok dan mulai melepaskan kedua tali sepatunya. Perempuan itu melongo, berpikir apakah laki-laki itu bodoh atau bloon karena ia tahu betapa susahnya mencari tali sepatu yang bahkan dicari seharian belum tentu dapat.
"Gak usah deh, ini kan masalah gue." tolak perempuan itu, berusaha menolak. Lagipula ia sudah pasrah akan dicap sebagai adik kelas yang preman.
"Gak apa deh, gue juga pengen cari perhatian senior." Laki-laki itu langsung memberikan kedua tali sepatunya ke perempuan itu. Dengan bengong ia menerima tali sepatu itu.
"Tapi kan--"
"Pakai aja. Gue capek pasang-pasang lagi." Laki-laki itu langsung kembali melangkah melewati perempuan itu. "Gue duluan ke aula ya."
Sebelum perempuan itu sempat berkata apa-apa, laki-laki itu sudah menjauh dan menghilang di balik lorong. Mata perempuan itu kembali berair, namun perasaannya lega karena tidak harus dihukum di hari pertama.
Kalau mereka bertemu lagi, perempuan itu berjanji akan berterima kasih dan mengembalikan tali sepatu milik laki-laki itu.
Kalau saja ia tahu nama laki-laki itu.
• σur rєd ѕtríng •
Dia dimana ya?
Dengan bingung Sheryl berjalan terus mengelilingi lantai dasar sekolahnya. Ia sedaritadi mencari cowok yang telah menolongnya dari hukuman hari pertama, namun sampai sekarang tidak ketemu. Ia tahu tadi cowok itu menggantikan dirinya kena hukum bersama dengan sepupunya, si Aidan, tapi...
Oh iya. Manatau Aidan tahu cowok itu dimana, kan?
Sheryl langsung mengambil hpnya yang ia simpan di saku roknya dan mulai mencari kontak Aidan dan meneleponnya, tapi tidak diangkat. Sampai 3 kali misscalled pun Aidan tidak mengangkat. Sheryl baru saja akan menelepon lagi untuk yang keempat kalinya ketika tiba-tiba seseorang memanggilnya.
"Eril!"
Gadis itu menoleh ke belakang dan menemukan Aidan yang melambai-lambai ke arahnya. Sheryl baru saja akan mengomeli Aidan jika seandainya ia tak menyadari cowok yang mengikuti Aidan tak jauh di belakangnya.
"G—gue udah nelpon 3 kali." kata Sheryl, hanya bermaksud memberitahu.
"Eh, masa? Tadi gue silence kan soalnya sempat kena tegur si Ketua OSIS." jawab Aidan dengan nada mencibir. Ia mengeluarkan hpnya dan benar saja, notifikasi misscalled dari Sheryl terpampang di layar hpnya. "Tapi tumben lo nelpon gw. Napa emang?"
"Gak jadi, soalnya..." Sheryl melirik cowok itu, yang ternyata juga melihat dirinya, lalu ia langsung memutuskan kontak mata. "Ya gitu deh."
"Oh. Eh, btw gue mau kenalin lo ke kawan baru gue. Denger-denger kalian sempat ketemu juga ya tadi." Aidan langsung meminggirkan tubuhnya agar Sheryl dapat melihat cowok itu dengan lebih jelas.
Ganteng, itu yang pertama terbesit di pikiran Sheryl ketika melihat cowok itu. Pada saat pertama kali mereka bertemu, Sheryl tidak terlalu memperhatikan cowok itu. Tapi sekarang, setelah dapat melihat dengan jarak dekat, Sheryl baru menyadari bahwa ia ditolong cowok ganteng.
Berasa drama banget deh.
"Hehe, iya." Sheryl hanya bisa terkekeh. Ia dapat melihat cowok itu tersenyum lucu ke arahnya.
"Jadi ini ni sepupu gue, namanya Sheryl." Aidan memperkenalkan Sheryl kepada cowok itu, yang langsung mengangguk karena Aidan memang sempat menceritakan Sheryl kepadanya sebelumnya. "Terserah lo mau manggil dia apa; Ceril, Seril, Eril, Riril, tapi gue sih manggil dia Acel."
"Seenak jidat lo aja ya bilangnya." Sheryl memotong, matanya menatap sebal ke Aidan. "I prefer being called as Sheryl."
"Terserah lo deh, Kanjeng Ratu." cibir Aidan. "Nah, Kanjeng, ini kawan gue, Kaiven Samudra."
Sheryl tersenyum simpul melihat Kaiven juga tersenyum kepadanya, walau hanya senyum sopan.
Ternyata namanya Kaiven, toh.
• σur rєd ѕtríng •
ВЫ ЧИТАЕТЕ
Our Red String
Подростковая литератураSejak pertama kali bertemu, baik Kaiven dan Sheryl merasakan perubahan dalam diri mereka. Baik kebiasaan mereka maupun sikap mereka langsung berubah menuju yang lebih baik. Sampai akhirnya berubah menjadi perasaan yang melekat. Namun mereka sama-sam...
