Let us always meet each other with smile, for the smile is the beginning of love.
Mother Teresa
• σur rєd ѕtríng •
Laki-laki itu menuruni tangga sambil merapikan dasi abu-abu yang ia pakai. Wajahnya kalem, rambutnya sedikit melewati telinga, dan tubuhnya tinggi tegap. Seragamnya selalu rapi, tidak seperti teman-temannya yang sementang sudah kelas 3 SMA berpakaian seenak jidat, tanpa dasi dan seragam putih yang keluar dari celana abu-abu. Padahal ia bersekolah di sekolah khusus kalangan atas, namun sepertinya baik sekolah kalangan atas maupun kalangan biasa-biasa saja tidak perlu dibedakan karena sekarang mereka terlihat sama saja; kacau dan berantakan.
"Kai, kamu mau nasi gorengmu pakai telur mata sapi atau telur dadar?" tanya seorang wanita berumur yang masih terlihat muda. Padahal ia memiliki banyak pembantu di rumahnya, namun untuk urusan memasak ia memilih melakukannya sendiri. Karena yang ia lakukan semata-mata untuk membahagiakan keluarga kecilnya.
"Telur mata sapi, Ma. Yang biasa ya." kata Kaiven sambil menarik sebuah kursi dan duduk. Ibunya mengangguk, tahu bahwa maksud Kaiven adalah telur mata sapi setengah matang karena anak laki-lakinya sangat menyukai kuning telur yang cair.
"Oke sayang." Ibunya tersenyum lalu pergi ke sebalik meja bar dan mengambil telur di kulkas.
Sambil menunggu, Kaiven membaca sebuah novel bahasa Inggris bergenre science fiction yang belum selesai ia baca kemarin malam.
"Oh iya. Papa mana?" tanya Kaiven yang akhirnya menyadari suasana tidak biasa di meja makan. Biasanya sambil membaca bukunya Kaiven akan mencium aroma kopi dan mendengar suara halaman koran yang dibalikkan.
"Papa pergi menjemput kakakmu di bandara." sahut ibunya dari dapur. "Kau tahu kakakmu pulang pagi ini, kan?"
"Tau. Tapi kok tumben kakak pulang ke Indonesia? Emang ada apa?" tanya Kaiven. Kakaknya itu memegang perusahaan ayahnya di Australia dan selalu tidak punya waktu untuk sekadar bersilaturahmi ke Indonesia karena ia selalu sibuk. Oleh karena itu biasanya mereka bertigalah yang mengunjungi kakaknya ke Australia.
"Ntar kamu juga tau." kata ibunya sambil tersenyum penuh misteri. Kaiven yang sama sekali tidak tertarik dengan segala urusan kakaknya hanya mangut-mangut dan kembali berkonsentrasi membaca bukunya.
Ibunya berjalan ke meja makan dan meletakkan sepiring nasi goreng teri yang masih hangat dengan telur mata sapi.
"Makasih, Ma." kata Kaiven sebelum menutup bukunya dan mengambil sendok dan garpu. Ibunya tersenyum sembari duduk di sebelah Kaiven dan melihat anaknya makan dengan lahap.
"Oh ya, Kai." panggil ibunya.
"Hm?"
"Kamu udah ketemu cewek yang mau dinikahi gak?"
Kaiven langsung tersedak nasi goreng yang belum selesai dikunyah. Tangannya langsung melambai-lambai untuk mengode ibunya agar mendekatkan gelas airnya. Dengan tersenyum, ibunya langsung memberikan gelas airnya.
"Apaan sih, Ma!" Wajah Kaiven memerah, entah karena habis tersedak atau karena malu. "Kok langsung main nikah-nikah aja sih, Kai kan baru aja 17 tahun!"
"Lho, kan Mama cuma nanya." jawab ibunya dengan muka polos.
"Tapi gak gitu juga nanyanya kali, Ma. Kan bisa nanya 'Kai, kamu ada cewek yang ditaksir gak?'. Gitu!"
"Yaudah, yaudah. Kai, anakku yang ganteng dan baik hati, kamu ada cewek yang ditaksir gak?" tanya ibunya dengan wajah ingin tahu.
"Kenapa sih mama nanya kayak gituan, biasanya juga kagak peduli." tanya Kaiven balik. Selain niatnya yang tidak ingin menjawab pertanyaan ibunya, ia juga penasaran karena tingkah ibunya yang berbeda dari biasanya.
YOU ARE READING
Our Red String
Teen FictionSejak pertama kali bertemu, baik Kaiven dan Sheryl merasakan perubahan dalam diri mereka. Baik kebiasaan mereka maupun sikap mereka langsung berubah menuju yang lebih baik. Sampai akhirnya berubah menjadi perasaan yang melekat. Namun mereka sama-sam...
