2. That's You

82K 2.9K 13
                                    

Evanna menggeliat dalam tidurnya, sebenarnya ia terlalu malas untuk meninggalkan nyamannya tempat tidur, namun ia tidak memiliki pilihan. Gadis itu segera membuka matanya lalu merapikan rambut hitam panjangnya begitu ia duduk di atas tempat tidur, sekarang sudah jam sembilan dan itu berarti ia harus segera bergegas untuk ke kampus. Menghadiri seminar wajib yang akan menjadi salah satu persyaratan kelulusannya.

Gadis itu beranjak dari tempat tidurnya dan bergegas menuju kamar mandi namun sesuatu mengganggunya. Ada yang tidak benar entah apa itu. Ia berusaha kembali mengingat-ingat hal yang telah ia lupakan kemudian menutup ke mulutnya dengan kedua telapak tangan. Seminar akan dimulai 30 menit lagi dan itu berarti ia akan terlambat. Tanpa mengulur waktu lagi, gadis itu langsung menuju wastafel di kamar mandi dan mencuci wajahnya serta menyikat giginya dengan terburu-buru. Ia melakukannya sambil memanaskan alat pengeriting rambut. Ia butuh rambut yang sedikit bergelombang hari ini.

Kemudian ia mengeluarkan skinny jeans lalu mengambil sebuah kaos putih polos. Namun ketika mengingat soal taruhannya dengan Jessica, ia langsung melempar kaosnya ke sisi tempat tidur dan melemparkan kemeja putih dari lemari ke atas tempat tidurnya. Sempurna, pikir gadis itu.

Ia mengenakan semuanya dalam gerakan cepat lalu meraih alat pengeriting rambut, membentuk sedikit rambutnya agar bergelombang. Setelah ia rasa cukup, gadis itu langsung memasukkan peralatan make up yang dibutuhkan ke dalam tas kecilnya. Evanna langsung bergegas keluar kamar sambil berteriak nyaring dari ujung tangga dan bergegas ke dapur. Bibi Dilara sudah menyiapkan sarapan untuknya.

"Juliaaa!! Katakan pada Fransisco untuk mengantar ku ke kampus secepatnya!"

Tidak butuh waktu lama karena begitu Evanna menjejalkan roti tawar ke dalam mulutnya lalu keluar rumah, Fransisco dan mobil audy favorit Evanna sudah stand by disana. Ia langsung masuk dan meminta Fransisco untuk mengantarnya secepat yang lelaki itu bisa.

**

Seandainya saja Garry bukanlah teman dekatnya, mungkin Stevan sudah mengutuk laki-laki itu dengan makian dan sumpah serapah. Bagaimana tidak? Garry menjanjikan seminar yang santai. Kenyataannya tidak. Seminar serius yang membahas tentang bagaimana agar kau bisa menjadi orang yang sukses besar dalam berkarir dan akan menjadi amat sangat formal dengan pembahasan yang sedikit berat. Sedangkan Stevan memang orang yang sukses sehingga ia tidak membutuhkan kiat 'bagaimana menjadi'.

Aku akan menuntutnya nanti, bisik Stevan dalam hati.

Ia bergegas untuk menaiki panggung dan berdiri di depan podium. Ia bisa mendengar suara bisik-bisik langsung menjalar di seluruh aula itu namun ia tetap diam, karismanya memancar dengan sempurna dan mampu membuat siapa saja terpesona. Tubuh tegap, bentuk yang proporsional, cerdas, tampan dan kaya raya. Sempurna! Ia bahkan dengan sangat percaya diri, yakin bahwa seluruh mahasiswi di aula itu menginginkannya.

"Selamat pagi rekan-rekan sekalian, salam sejahtera semuanya." Sapanya sebagai salam pembuka. tidak lupa ia melemparkan sebuah senyuman menawan yang ia punya. Dan detik berikutnya ia sudah berbicara panjang lebar, memberikan kuliah motivasi pada ribuan mahasiswa disana. Beberapa mungkin mengabaikan suaranya dan memilih untuk menatap lelaki itu lekat-lekat namun beberapa benar-benar tampak serius mendengarkan apa yang Stevan katakan. Ia baru saja akan membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan seorang mahasiswa namun mulutnya kembali terkatup rapat dan memandang kearah pintu masuk yang ada di ujung sana, di depannya. Tatapannya sukses membuat seluruh mahasiswa menatap kearah yang sama.

Seorang mahasiswi berkemeja putih dan skinny jeans baru saja masuk, menginterupsi acara seminar itu.

Stevan menatap lurus ke arah gadis yang kini memandang sekelilingnya tanpa canggung sedikit pun. Ia malah duduk di deretan belakang, persis di sebelah gadis berambut pirang yang tampaknya merupakan teman dekatnya karena gadis itu sibuk bicara dengan ekspresi panik. Si gadis berkemeja putih hanya menganggapinya sesekali dengan mengangkat bahu atau senyuman tipis. Ketika gadis itu mencoba untuk fokus, tatapannya langsung bertemu dengan Stevan. Mereka saling menatap untuk beberapa detik sampai Stevan menyadari bahwa audience sedang menanti dirinya bicara.

Misery [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang