It feels like ... (3)

3.3K 195 4
                                    

Sinta POV

"Masih belum mau cerita nih?" Kata Kak Natasha untuk keempat puluh sembilan kalinya dalam seharian ini.

Ini yang disebut sebagai ketangguhan dan pantang menyerah, atau ingin ikut campur? Yahh, walau gue tahu maksud Kak Natasha itu baik. Dia mau tahu apa penyebab gue sama Rama putus. Memang sulit dipercaya, hubungan gue dan Rama itu bagaikan cerita picisan di novel-novel yang seharusnya berakhir dengan happily ever after. Tapi siapa yang sangka?

Mungkin aja di dunia ini tidak ada yang sebenarnya disebut sebagai happily ever after. Yang ada itu realitas yang kadang menyakiti kita tapi itulah takdir kita. Tidak bisa diubah, dan hanya bisa dijalani. Kalau menyerah, sama aja kalah!

Dan sekarang, gue terus berjuang dan menolak kalah. Tidak adakah orang yang melihat dan sekiranya menghargai usaha gue sekarang ini?

"Apaan sih Kak Tasha... Kan udah aku bilang, ceritanya ya karena aku ga sengaja jalan sama cowok lain aja. Yahhh kepergok beberapa kali. Rama cemburu, dan aku rasa yaaaa... gitu. Rama terlalu posesif dan aku ga suka. Kami ga sejalan." Jelasku keempat puluh sembilan kali berharap Kak Natasha tidak akan bertanya untuk yang kelima puluh kali.

"Plis deh Sin... Aku ini udah kenal Rama seumur hidupnya. Dia bukan cowok posesif, dan dia pasti cuma perlu dijelaskan siapa cowok yang kamu ajak jalan. Udah... Pasti begitu aja." Ini pun jawaban yang sama dari Kak Natasha untuk keempat puluh sembilan kalinya setelah mendengar penjelasan gue.

Kapan ini berakhir?!

Tapi apa yang dikatakan Kak Natasha mengenai Rama itu setengah benar, tapi setengah lagi salah.

Rama ADALAH orang yang sangat amat posesif. Cemburuannya tingkat dewa, dan jangan tanya apa saja yang dia cemburui. Bahkan hanya boneka beruang pemberiannya sebagai kado ulang tahun yang selalu gue peluk setiap malam itu dirampaa. Dia bilang, dia cemburu karena gue memeluk boneka itu daripada dia. Parah kan? Tapi jangan salah, sama teman-teman cowok gue pun tidak kalah parah. Pernah ada yang hanya menanyakan tugas Pak Leo ke gue, sudah langsung membuat Rama mendidih sampai perjalanan pulang Rama mendiamkan gue.

Ck.. Jangan tanya bagaimana selama ini gue bisa bertahan. Tapi sebenarnya Rama ga menghalangi gue untuk berteman. Seperti yang Kak Natasha bilang, sekali dijelaskan Rama langsung mengangguk maklum. Kecuali Marc, anaknya Tante Jo. Rama benar-benar mengangkat bendera perang sampai akhirnya Marc sadar diri, dan mundur teratur. Saat itu Marc sampai bilang, "Semoga saja lelaki yang menjadi pacar kamu bisa menghadapi masalah sister complex yang diderita Rama.". Memang sampai akhir, Marc tidak tahu kalau aku berpacaran sama Rama, tapi ya itu... terasa sekali.

Sebenarnya gue cukup menikmati masa-masa itu. Cemburunya Rama secara tidak langsung memberitahu gue kalau dia peduli dan suka sama gue. Tapi sayang, semua sudah tidak mungkin aku rasakan lagi.

Semua kenangan tentang kebersamaan aku dan Rama hanya bisa gue kubur. Karena semakin banyak yang gue ingat, maka perasaan nyeri itu semakin nyata.

"Kak Tasha... Bicarain yang lain aja lah. Bosen ga sih ngomongin aku sama Rama mulu. Mmmm... Mana Kak Arya? Malem ini ga jemput? Bawa mobil sendiri? Tapi tadi Sinta ga lihat ada mobil ...." Gue berusaha membelokkan topik. Dan syukurlah Kak Natasha mengerti.

"Tadi Arya yang nganter. Tapi.... Malem ini kami berniat mau nginep aja di sini. Sepi juga kan rumah ini? Rumah besar gini tapi yang menghuni malah sedikit orangnya. Sayang lahhhh.... Apalagi Dad dan Mom lagi pergi ngunjungin Tante Jo di Paris sampai seminggu ke depan."

Gue langsung menyipit sambil menduga-duga yang pasti benar, "Idih... Mau mesum di sini? Mending balik lagi aja sana ke apartemen. Lebih private di sana kan? Bukannya kedap suara juga apartemennya. Bisa sampai pagi ributnya, daripada ganggu Sinta tidur..."

Loving You #7 : It Feels Like HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang