Epilog

4 1 1
                                        

Pada akhirnya, yang membuat mereka berdua terpisah bukanlah pertengkaran...

melainkan waktu.

Rex tenggelam dalam pekerjaannya.
Xioo tenggelam dalam ujian kelas 3 yang menyita seluruh hari dan malamnya.

Perlahan, tanpa mereka sadari, percakapan yang dulu begitu hangat berubah menjadi sesuatu yang tipis, rapuh, dan jarang.

Chat yang dulu mengalir seperti sungai, kini mengering satu per satu.
Balasan yang dulu cepat, berubah menjadi jam, lalu hari.

Dan tiap kali Xioo membuka ponselnya, dia merasa dadanya sesak:
"Rex belum balas..."

Padahal dia tahu Rex sibuk.
Padahal dia tahu Rex bekerja sampai larut.
Padahal dia tahu Rex mencoba tetap ada.

Tapi mengetahui itu semua tidak membuat sepi di hatinya hilang.
Tidak membuat rindu itu mengecil.
Tidak membuat sunyi itu terasa lebih ringan.

Xioo merasa kesepian.
Kesepian yang tidak ingin ia akui, tapi perlahan menggerogoti ketenangannya.

Suatu malam, Rex akhirnya mengirim pesan lebih panjang dari biasanya.

"Xioo... kita kayaknya lagi sama-sama kewalahan.
Aku kerja nggak berhenti.
Kamu juga sibuk ujian.
Aku takut kalau kita terus maksa... kita malah capek sama satu sama lain."

Xioo membaca pesan itu lama.
Sakit—tapi bukan sakit yang marah.
Lebih seperti perasaan kehilangan yang belum lengkap, tapi sudah terasa.

Dia membalas dengan jujur:

"Aku ngerti, Rex... aku juga capek.
Tapi bukan kamu yang bikin capek.
Justru karena kamu aku bertahan."

Rex mengetik lama sebelum membalas:

"Ya... makanya aku minta kita break dulu.
Bukan putus.
Bukan pergi.
Hanya berhenti sebentar... sampai semua lebih tenang."

Xioo terdiam.
Ia tahu itu mungkin satu-satunya jalan yang masuk akal.
Tapi hatinya menolak.

Break berarti memberi ruang pada waktu.
Dan waktu sering kali tidak mengembalikan apa pun.

"Kalau kita break..."
tanyanya ragu,
"kita bakal jadi asing?"

"Enggak," jawab Rex cepat, seolah takut Xioo salah paham.
"Aku nggak mau kita jadi asing.
Aku cuma mau kita istirahat.
Sampai beban kita masing-masing lebih ringan."

Tapi Xioo tetap ragu.
Bukan karena dia tidak percaya Rex.
Tapi karena dia tidak percaya waktu
yang sudah berkali-kali mengambil orang darinya.

Namun ia tetap mengetik:

"Baik, Rex... kalau itu yang terbaik."

Tidak ada perpisahan dramatis setelah itu.
Tidak ada air mata yang ditunjukkan.
Tidak ada kalimat panjang.

Hanya dua orang yang masih saling sayang,
tapi untuk sementara,
tidak bisa saling genggam.

Xioo menatap layar ponselnya lama setelah percakapan itu selesai.
Rindu yang ia pendam selama ini tidak hilang—justru makin kuat.
Tapi ia tahu, untuk saat ini, ia harus menahannya.

Rex menutup ponselnya dengan napas berat.
Bukan karena ingin pergi,
tapi karena ingin bertahan...
tanpa membuat Xioo ikut tenggelam dalam lelahnya.

Dan begitulah hubungan mereka berdua berhenti—
bukan karena tidak lagi mencintai,
tapi karena keduanya harus menyelamatkan diri terlebih dahulu.

Dalam diam itu, ada janji yang tidak pernah dikatakan:
jika waktu mempertemukan mereka lagi dalam keadaan yang lebih baik,
mereka akan kembali.

Namun sampai saat itu tiba...
mereka berjalan masing-masing,
dengan rindu yang tidak pernah benar-benar hilang.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 29 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Prolog, Dialog, EpilogWhere stories live. Discover now