Xioo: "Rex... kamu pernah mikir nggak, kalau hidup suka bercanda? Kita ketemu di grup 'Gacor King' dari semua tempat yang ada."
Rex: "Iya, group itu tempat paling random buat nemu seseorang yang bener-bener nyambung."
Xioo: "Padahal awalnya aku cuma mau curhat. Tentang pacarku yang... alay nggak ketolongan."
Rex: "Yang suka merajuk tiap kamu slow respon itu, kan?"
Xioo: "Iya. Dan typing-nya tuh... aduh, Rex. Banyak huruf dilebay-lebaykan. Kayak 'akuuuuu kangeeennn bgt plisss balesss.' Capek banget bacanya. Dan dia, sama sekali nggak ngerti kalau aku juga manusia yang bisa lelah."
Rex: "Aku paham. Karena aku juga waktu itu lagi stres."
Xioo: "Iya, aku ingat. Kamu cerita pacarmu... drama sakit kanker?"
Rex: "Iya. Awalnya aku kasihan. Tapi lama-lama aku sadar... semua itu cuma dalih supaya aku tetap nurut. Setiap aku pulang kerja dan cuma butuh istirahat, dia malah marah. Bilangnya aku nggak peduli. Padahal aku cuma capek."
Xioo: "Dan dia selingkuh juga, kan?"
Rex: "Iya. Ironisnya, yang menuduh aku nggak perhatian, justru dia yang pergi sama orang lain."
(hening sejenak, bukan canggung—lebih ke lega karena mereka saling memahami)
Xioo: "Rex... waktu kamu bilang putus sama dia, aku takut jujur."
Rex: "Takut kenapa?"
Xioo: "Takut kamu cuma curhat ke aku karena kamu butuh pelarian."
Rex: "Xioo... kalau itu cuma pelarian, aku nggak bakal ngetik begitu panjang tiap malam buat bales cerita kamu. Dan aku nggak bakal sabar dengerin ocehanmu soal mantan alaymu yang suka marah cuma karena kamu nggak ngetik emot love."
Xioo: tertawa kecil "Dia bisa ngamuk cuma gara-gara aku pakai titik."
Rex: "Pacarmu mantan guru bahasa emoji ya? Sensitif banget."
Xioo: tertawa lebih keras "Gak tau dah. Tapi serius, Rex. Waktu itu aku bener-bener capek. Capek sama dramanya. Capek sama alay-nya. Capek sama dia yang nggak pernah ngerti aku."
Rex: "Kita sama-sama capek... tapi malah ketemu di tempat yang kayaknya nggak ada hubungannya sama cinta."
Xioo: "Gacor King... tempat orang cari feeling, bukan healing."
Rex: "Tapi buat kita jadi dua-duanya."
(Keduanya berhenti mengetik selama beberapa menit, tapi tetap online. Sunyi digital yang hangat.)
Rex: "Xioo."
Xioo: "Hmm?"
Rex: "Kamu tahu nggak... aku sebenarnya nyaman banget ngobrol sama kamu."
Xioo: "Aku juga, Rex. Padahal kita nggak pernah telepon. Nggak pernah dengar suara masing-masing. Tapi rasanya... dekat."
Rex: "Dekatnya bukan yang asal dekat. Tapi dekat yang bikin aku ngerasa: 'Oke, ada seseorang yang ngerti aku tanpa harus jelasin panjang-lebar.'"
Xioo: "Iya... aku juga ngerasa gitu."
Rex: "Dan itu yang bikin aku berani memutuskan hubungan yang udah lama bikin aku sakit kepala."
Xioo: "Aku bangga sama keberanianmu."
Rex: "Aku juga bangga sama kamu. Kamu berani keluar dari hubungan yang nggak sehat, dari orang alay yang kamu paksain buat kamu sayang."
Xioo: "Ya... tapi setelah itu semua, kita malah... jatuh hati."
Rex: "Iya. Pelan-pelan. Lewat chat. Tanpa suara. Tapi tetap nyata."
Xioo: "Rex... kalau suatu hari nanti kita jadi asing... kamu bakal nyesel pernah kenal aku nggak?"
Rex: "Nggak. Sama sekali nggak."
Xioo: "Kenapa?"
Rex: "Karena kamu datang di waktu yang pas, Xioo. Kita berdua hancur, tapi saling bantu biar nggak tambah hancur."
(Xioo membaca kalimat itu berulang kali sebelum membalas.)
Xioo: "Meski nanti kita bukan apa-apa lagi... aku tetap bersyukur pernah ketemu kamu."
Rex: "Aku juga."
YOU ARE READING
Prolog, Dialog, Epilog
RomancePertemuan mereka terjadi tanpa rencana, hanya dari sebuah grup acak yang seharusnya tidak berarti apa-apa. Obrolan ringan berubah menjadi kenyamanan, lalu kenyamanan itu berkembang menjadi perasaan. Namun ketika dunia masing-masing mulai menuntut wa...
