Selama bertahun-tahun, mereka saling menjaga dalam diam, saling mengisi lewat canda, dan tumbuh bersama di layar kecil bernama 3DZia. Empat nama, empat hati, satu layar dan dunia mengira mereka sempurna.
Zia dan Danu menyimpan rasa yang tak pernah b...
Mobil milik Danu baru aja berhenti di parkiran kampus. Cahaya matahari sedikit masuk menembus kaca mobil, menyilaukan mata Zia yang hari ini ia hias rapi demi mendukung penampilannya di atas panggung ketika ia praktik bernyanyi nanti.
Danu menoleh sebentar lalu bersuara ketika keraguan menyertainya. “Yakin nggak mau diantar ke auditorium?”
Pandangan Zia teralih dari tas ke Danu yang kini menatapnya intens. “Iya, yakin. Lagian Zia emang udah bisa jalan jauh, ’kan? Kita udah latihan kemarin, dokter juga bilang Zia udah sembuh total kok.”
“Beneran yakin?”
“Tenang aja, Nu. Zia nggak apa-apa.”
Danu menghela napas. Masih belum percaya pada gadis yang baru saja sembuh tiga hari yang lalu itu.
Mereka turun dari mobil, langkah kaki mereka menyusuri area parkir yang mulai ramai, dengan suara kendaraan dan sapaan mahasiswa dari kejauhan.
Di layar ponsel Zia yang tadi sempat ia intip, komentar di video klarifikasi masih terus mengalir. Beberapa sudah membela, beberapa mulai sadar, dan sisanya mulai diam. Itu saja sudah cukup memberi ruang napas.
Danu melirik sebentar ke arah langkah Zia, lalu kembali bersuara. “Gue anter lo.” Nada suaranya kini terdengar tegas. Kalimat itu bukan lagi berbentuk pertanyaan, melainkan pernyataan yang tidak bisa Zia tolak.
Zia memakaikan totebagnya, lalu menatap Danu dengan senyum. “Zia nggak ada waktu buat debat. Pokoknya Zia jalan sendirian, Danu juga harus presentasi, kan?”
“Presentasi bisa entaran.”
“Dih, enggak ada, ya, entar-entar. Danu, tuh, udah sering bolos karena Zia. Jadi cukup. Lagian Zia udah beneran sembuh kok.”
Mereka berhenti di persimpangan menuju dua arah berbeda, gedung kelas di kanan, auditorium mini di kiri. Sejenak, langkah Danu berhenti, tangannya masuk ke saku celana.
“Kalau ada apa-apa, harus langsung kabarin gue,” ucap Danu tegas.
Senyum lembut mengiringi anggukan Zia. “Siap, Kapten!” serunya lalu tertawa.
“Jalan sana. Keburu Nathan panik nyariin lo.”
Zia membentuk jarinya membentuk O-K. “Semangat kuliahnya, Nu,” ucapnya lembut sebelum berbalik dan berjalan menuju auditorium mini.
Sebuah lesung pipi kecil terbentuk di tepi bawah bibir saat senyum di bibir Danu terukir. “Semangat nyanyinya, Zi.”
Mereka berpisah di situ. Tapi langkah yang berlawanan tak mengurangi kedekatan yang diam-diam tetap berjalan beriringan. Karena hari itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Zia tidak hanya berdiri lagi, tetapi juga berjalan menuju panggungnya sendiri.
¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.
Senar gitar memantul pelan, menciptakan resonansi ringan di ruangan belakang panggung yang dipenuhi kursi lipat, gantungan jas, dan kabel-kabel yang berantakan. Udara terasa agak pengap, aroma kayu dari lantai auditorium bercampur dengan wangi hairspray sisa dari penampil sebelumnya.