(1) Bli Raja ~~ Rahajeng Semeng

596 108 262
                                        

Dua bulan sebelum Devva ke Bali ....

"Mbah, kira-kira jodohku nanti itu seperti siapa ya?"

Malam-malam, Devva memang sering kali menemani Mbahnya duduk di halaman belakang. Menatap empat gundukan tanah yang ada di sana.

Tiga sudah lama, satu masih baru.

Yang masih baru itu makam MbahBhum-nya. Yang baru berpulang enam bulan lalu. Tapi sampai saat ini, selalu menjadi tempat MbahAr-nya merenung.

Jadi, agar Mbahnya tidak terlalu kesepian, sebagai cucu yang baik, Devva akan selalu menemani. Kasihan juga Mbahny sudah tua. Masa dibiarkan melamun sendirian. Ngeri kesambet.

"Memangnya Devva mau yang seperti apa?" Arya kalau sudah malam dan masuk sesi melankolis begini, langsung soft spoken. Pokoknya lembuuuttt sekali.

"Mau yang seperti Mbah Bhumi," kata Devva sambil tertawa kecil.

Mbah Bhumi itu role modelnya sejak kecil. Ganteng, ganteng, ganteng, penyayang, lembut, dan selalu memanjakannya. Devva juga sering iri tiap kali melihat bagaimana Mbah Bhumi memperlakukan Mbah Arya.

Seperti Mbah Arya itu barang pecah belah antik, yang harus dia jaga dengan segenap hidupnya. Jangan sampai retak, apalagi rusak.

Ayahnya juga hampir seperti itu pada Mamanya. Tapii ... di mata Devva yang dari kecil hidup bersama Mbah, yang selalu dia lihat ya Mbah-Mbahnya.

Karena Ayah dan Mama sempat lama sekali tinggal di luar negeri.

"Seperti Mbahmu ya?" Arya tersenyum. "Memang harusnya kamu dapat yang seperti Mbahmu, Cah Bagus. Tapi, Mbah bisa sama Mbah Bhumimu itu taruhannya nyawa dulu."

Devva mengangguk. Dia tahu. Tanpa ada yang menceritakan pun, Devva tahu. Karena dia bisa melihat masa lalu orang, hanya lewat matanya saja.

Makanya selama ini Devva sering memakai kacamata hitam, lalu menghindari mata orang-orang. Kesannya jadi sombong sekali, tapi itu karena Devva tidak mau melihat masa lalu orang. Karena yang dilihatnya. Selalu yang tidak menyenangkan.

Termasuk yang Mbah-Mbahnya alami dulu.

Devva bahkan menangis dan demam sampai satu minggu waktu itu.

"Masa aku harus mati lalu hidup lagi supaya bisa dapet yang seperti Mbah Bhumi." Devva terkekeh. Dia lebih pilih menjomblo saja daripada berurusan dengan kematian.

Devva itu takut sekali mati, pokoknya! Takut, kalau matinya lebih dulu dari Mbahnya. Takut nanti Mbah Arya lebih sedih lagi.  Karena tidak ada dirinya yang menemani.

"Ya jangan." Arya tertawa. "Semoga kamu nanti bertemu dengan orang yang menyayangi kamu, lebih dari kami," ucapnya sambil mengusap-usap puncak kepala Devva.

"Aamiin." Devva tersenyum. "Tapi, Mbah. Aku tu punya firasat kalau nanti jodohku orang jauh," celetuknya kemudian.

"Masa?" Arya menyipit. "Kamu sudah dekat sama seseorang?"

"Belum sih." Devva menggeleng. "Cuma firasat aja."

"Jangan diikuti banget firasat itu, Devv. Kadang bisikan setan juga." Arya mengingatkan. "Mbah itu masih kurang setuju kamu mendalami apa yang dulu Mbah Buyutmu punya. Mbah—"

"Wis tah, Mbah. Udah telat." Devva nyengir lebar. "Aku ya enggak belajar-belajar banget. Tapi keris-kerisnya sendiri yang pindah ke aku. Mbah kan lihat sendiri."

Arya mengangguk. "Tapi bukan berarti kamu harus menerimanya, Cah Bagus. Mbah hanya takut kamu kenapa-napa. Menjadi seperti Buyutmu dulu, itu bukan hal yang mudah. Kamu juga tahu beliau bahkan meninggal di usia muda. Kamu—"

MANTRA MADEVVAWhere stories live. Discover now