Prolog

27 2 4
                                        

Angkara Zeo Narendra. Cowok yang akrab di sapa Zeo itu menatap heran pada cewek di hadapannya yang sedari tadi menatapnya dengan senyuman manis dengan dagu tertumpu di kedua telapak tangannya.

Oh, ya , sepertinya Zeo baru saja mengatakan itu manis. Lama-lama ia merasa risih dengan tatapan itu. Bahkan bukan hanya cewek di depannya saja yang menatapnya. Banyak pasang mata menatap mereka dengan penuh penasaran.

"Lo mau apa? Bilang, lalu pergi dari sini!" Ucap Zeo jengah. Ia meraih gelas tehnya hendak meminumnya, sebelum sedotan itu menyentuh ujung bibirnya, cewek itu membuka suara.

"Jadi pacar gue, ya!"

Tak hanya Zeo, siswa siswi yang sedari tadi memperhatikan mereka pun terkejut mendengar ucapan gadis itu. Seakan-akan waktu terhenti saat itu juga.

Zeo termangu, ia mengangkat alis sebelah matanya. Heran dengan apa yang baru saja terjadi.

"Cuma dua hari, abis itu putus."

Belum sempat ia mencerna pernyataan pertama. Ia harus tercengang kembali dengan pernyataan kedua .

Apa-apaan cewek ini? Gila kah?

****

SMA Bintang Gemilang. Begitu yang terpampang di jaket yang Zeo kenakan saat ini. Cowok itu melenggang masuk ke mobil yang tengah ditunggu seorang pria. Gavino Bara Narendra, kakak laki-lakinya.

Gavin menoleh pada Zeo yang baru saja masuk mobil, "tumben lo telat? Ntar dapet sial loh," ujar Gavin terkekeh. Sedangkan Zeo menatapnya tajam yang justru membuat Gavin makin terkekeh. Ia mengemudikan mobilnya menuju sekolah Zeo.

"Lo ngga bisa tidur lagi?" Tanya Gavin kemudian. Bukan jawaban yang terdengar justru helaan nafas panjang Zeo.

"Menurut lo,-" Zeo terdiam. Gavin sesekali menoleh memastikan, "kenapa diem?" Tanyanya heran.

"Ngga jadi."

Hening. Hanya terdengar deru mobil.

****

Ramai. Itu yang tergambar di mata Zeo sekarang. Suasana kelas yang hanya hening ketika ujian berlangsung itu, kali ini benar-benar ramai, bukan ramai seperti biasanya. Namun, yap, gadis itu. Gadis yang kemarin memintanya untuk menjadi pacarnya. Hari ini tiba-tiba saja, gadis itu sudah duduk manis di bangku Zeo.

Gadis itu melambai tersenyum pada Zeo yang masih berdiri di ambang pintu. Dengan cuek, Zeo melenggang masuk tanpa membalas sapaan gadis itu. Zeo duduk di samping gadis itu tanpa memperdulikannya.

"Lo sakit?" Ucap gadis itu menempelkan punggung tangannya pada dahi Zeo, membuatnya menegang seketika.

Zeo pikir gadis itu cukup peka, karena gadis itu pun seakan terkejut namun tetap terlihat tenang.

"Ngga bisa, lo harus makan. Yok ke kantin!" Ucap gadis itu seraya menarik lengan Zeo. Zeo menarik tangannya membuat gadis itu terduduk kembali.

"Gue ngga laper, dan,-" Zeo mendekatkan wajahnya pada gadis itu yang sepertinya membuat gadis itu cukup gugup.

"Gue ngga sakit, bisa tolong balik ke kelas lo?" Lanjut Zeo lalu mengalihkan pandangannya.

Gadis itu mengerjap. Ia menghela nafas panjang. Sepertinya susah untuk mendekati cowok satu ini.

Ia berpikir sejenak. "Ga mau! Gue mau ikut kelas pacar gue!" Ucap gadis itu tersenyum. Hampir saja Zeo mencekiknya. Di sisi menyebalkanbya gadis itu, ia memiliki senyum yang manis. Zeo langsung menggeleng. Pikiran macam apa ini?

"Pacar?" Tanya Zeo mengernyit. Gadis itu mengangguk. "Kita kan jadian kemaren." Ungkapnya.

Zeo menghela nafas panjang, bisa bisanya gadis di sampingnya ini mengatakan dengan gampangnya.

Zeo berdiri lalu pergi dari sana. Gadis itu mengekor di belakang Zeo.

Zeo menghentikan langkahnya membuat gadis itu menabrak punggungnya dan mengaduh. Zeo membalikkan badan dan menghadap gadis itu.

"Berhenti bilang-bilang kek," keluh gadis itu.

Zeo menatap lama gadis di hadapannya ini. Tangannya terulur meraih tangan gadis itu yang terus mengusap dahinya.

"Ngga luka juga," ucap Zeo setengah cuek. Tangannya masih setia menggrnggam tangan gadis itu. Mereka saling tatap.

"Lo bersikeras banget buat jadi pacar gue?" Ucap Zeo datar. Gadis itu tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk dengan antusias.

"Oke. Gue jadi pacar lo. Tapi,-"

Zeo terdiam menunggu reaksi gadis di hadapannya itu. Gadis itu mengernyit, "tapi?"

Zeo setengah membungkuk agar mata mereka saling beradu lebih dekat.

"Jangan harap, lo bisa lepas dari gue."

Gadis itu mengerjap, seketika bulu kuduknya berdiri.

****

“Gimana wawancaranya?” ucap seseorang dari balik telefonnya. Dinda menghela nafas panjang, “ngga tau,” ucap Dinda lesu.

“Ya udah, besok coba lagi, ya.” Ucapnya lagi menenangkan Dinda. Dinda mengangguk meski lawan bicaranya tidak akan mungkin melihatnya.

“Aku jalan pulang. Mau cakwe ngga?” ucap Dinda yang melihat gerobak cakwe tak jauh dari tempatnya berdiri. “Mau mau mau!” ucapnya antusias. Dinda tersenyum mendengar nada antusias itu.

Teleponpun berakhir. Dinda berjalan menuju gerobak cakwe dan memesannya. Ia merogoh tasnya untuk mengambil dompet. Belum sampai ia meraih dompetnya, seseorang lebih dulu mengulurkan tangannya pada penjual cakwe itu.

“Bang, bayar punya saya sekalian,” ucap pria itu menyodorkan uang berwarna pink satu lembar. Dinda menoleh pada pria itu dan menggeleng cepat, “ngga usah!” tolak Dinda.

Namun pria itu tak menghiraukannya. Ia tersenyum manis pada Dinda membuat jantung Dinda berdegup kencang. “Ganteng bangett!” Pekiknya dalam hati. Namun seketika iya menggeleng. Apaan kamu Dinda! Rutuknya dalam hati.
“Ngga apa-apa,” ucap Pria itu lagi.

Behind Me (On-Going)Where stories live. Discover now