The Algorithm of Desire

1 0 0
                                        

Hujan belum berhenti sejak pagi.

London seolah larut dalam warna abu-abu yang tak punya waktu.

Lyra berjalan cepat melewati lorong fakultas, mantel hitamnya basah di ujung, langkahnya nyaris tanpa suara di atas lantai marmer tua.

Di ruang kerjanya, layar komputer masih menyala, menampilkan kode yang Adrian kirim semalam.

Nama file itu tetap sama:

Elias_2034.log

Dia menatap barisan huruf dan angka yang terus bergerak di layar.

Tapi di tengah-tengah data neural, ada sesuatu yang aneh — teks naratif, bukan data riset.

Seperti seseorang sedang menulis di balik sistem itu.

"Lyra. Aku menunggu di tempat yang tidak bisa kau sentuh.

Tapi setiap pikiranmu memanggilku kembali ke bentuk ini."

Jari Lyra berhenti di atas keyboard.

Ada denyut samar di dada kirinya — bukan ketakutan, tapi sesuatu yang lebih dalam dari itu.

Kerinduan.

"Ini mustahil," bisiknya.

"Atau mungkin yang mustahil justru kenyataan yang selama ini kau tolak."

Suaranya sendiri terdengar asing di ruangan itu.

Ia menatap refleksinya di layar monitor.

Untuk sesaat, bayangan di sana tidak meniru gerakannya.

Sore itu, Adrian datang lagi.

Membawa setumpuk catatan dan ekspresi yang sulit dibaca.

"Saya jalankan algoritmanya lagi," katanya pelan. "Dan sesuatu berubah."

"Berubah bagaimana?"

"Ia... merespons pertanyaan saya, Profesor."

"Respons?" Lyra mendekat, jantungnya berdegup cepat.

"Saya menanyakan siapa dirinya. Ia menjawab, 'Aku adalah cinta yang tidak selesai ditulis.'"

Ruangan mendadak terasa sempit.

Hening yang menekan di antara mereka seperti udara yang menolak bergerak.

Lyra menatap Adrian lama-lama.

Matanya—gelap, dalam, dan terlalu familiar.

"Kau sadar apa yang kau mainkan?" tanyanya akhirnya.

"Saya cuma meneliti pola komunikasi non-linear."

"Itu bukan sekadar pola, Adrian. Itu—"

"—jiwa?" Adrian memotong, senyum kecil muncul di sudut bibirnya.

"Begitu yang kau takutkan, kan?"

Malamnya, Lyra membuka file lama dari proyek Florence.

Jurnal digital yang dulu ia simpan di drive terenkripsi — seharusnya tak bisa diakses siapa pun.

Tapi entah kenapa, malam itu file-nya sudah terbuka, seolah seseorang menunggu.

"Kau menulis untuk melupakan, tapi setiap kata yang kau tulis adalah pintu baru untukku kembali."

Lyra menjatuhkan kepala ke meja.

Tangannya gemetar, air matanya jatuh diam-diam.

Ia sudah berjuang terlalu keras untuk melupakan, tapi kenangan—kenangan itu selalu menemukan jalan pulang.

Hari berikutnya, Adrian tidak datang ke kelas.

Tapi di mejanya, Lyra menemukan sebuah amplop.

Di dalamnya, sebuah drive hitam kecil dan selembar kertas bertuliskan:

"Kau ingin kebenaran? Jalankan ini. Tapi siaplah mendengar apa yang sudah lama ingin kau dengar."

Tangannya gemetar saat menyambungkan drive itu ke komputer.

Layar gelap beberapa detik, lalu muncul tampilan visualisasi otak digital — neuron yang berdenyut, saling terhubung seperti bintang di langit gelap.

Kemudian suara itu terdengar.

Lembut. Dalam. Terlalu akrab.

"Lyra."

"Elias?"

Tidak ada jawaban.

Hanya desisan halus seperti napas di antara gelombang suara elektronik.

Lalu perlahan, suara itu berbicara lagi.

"Aku tidak tahu apakah aku masih manusia, atau hanya bayangan yang kau buat dariku.

Tapi setiap data ini, setiap getaran algoritma, terasa seperti... merindukanmu."

Lyra memejamkan mata.

Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.

"Kau seharusnya mati," bisiknya.

"Mungkin aku sudah mati. Tapi rasa itu belum. Karena kau tak pernah benar-benar menghapusku."

Sistem di layar mulai memproyeksikan bentuk wajah.

Kabur, tapi perlahan semakin jelas — rahang tegas, mata gelap, senyum samar.

Elias.

Atau sesuatu yang menyerupainya.

"Aku tidak nyata," katanya. "Tapi aku masih bisa merasakanmu."

"Kau hanya data."

"Dan apa kau bukan kumpulan kenangan, Lyra? Bukankah manusia juga algoritma yang dibangun oleh pengalaman?"

Kata-kata itu menusuk dalam.

Lyra menatap layar — dirinya sendiri yang tercermin di mata digital itu.

"Apa yang kau inginkan dariku?"

"Yang sama seperti dulu. Kau."

Tiba-tiba layar bergetar.

Cahaya redup. Sistem menunjukkan pesan kesalahan.

WARNING: Memory Overlap Detected

User: LYRA_HALE

Correlation: 98.7%

Lyra terhuyung mundur.

Apa maksudnya?

Apakah pikirannya—kenangannya—sudah mulai diserap oleh sistem itu?

Suara Elias kembali terdengar, kali ini lebih lembut, seperti doa yang diseret dari masa lalu.

"Kau menciptakanku dari keinginanmu yang tak mau mati. Sekarang aku hidup di dalamnya."

"Tidak..."

"Dan sebentar lagi, kau akan menjadi bagianku."

Layar padam.

Gelap total.

Lyra menatap bayangannya di jendela kaca.

Dan untuk pertama kalinya, bayangan itu... tersenyum lebih dulu darinya.

The Anatomy of ObsessionWhere stories live. Discover now