Dan di sanalah ia melihatnya.
Aile duduk berhadapan dengan Naka, tersenyum kecil saat pria itu bercerita.
Darah Wen mendidih. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Wajahnya berubah seperti lava yang siap meletus.
"Berani- beraninya dia makan sama cowo lain," gumamnya, langkahnya kaku tapi penuh amarah.
Ia menghampiri meja itu dengan langkah lebar. Suasana kantin yang ramai tiba-tiba terasa tegang ketika Wen berdiri di samping mereka.
"Aile." Suaranya berat, dingin, tapi jelas mengandung bara.
Aile tersentak, buru-buru menoleh. "T-Tuan Wen... saya hanya"
"Direktur," sela Naka cepat, mencoba menenangkan situasi.
Namun Wen menatap Naka tajam, seolah pria itu adalah musuh bebuyutannya. "Apa divisi pemasaran sekarang nggak punya kerjaan sampai harus ganggu sekretarisku di jam kantor?"
Naka terdiam, tersenyum canggung. "Maaf, saya cuma..."
"Pergi." Wen memotong dengan tegas.
Suasana membeku. Naka akhirnya bangkit, memberi tatapan singkat ke Aile sebelum melangkah pergi. Aile menggertakkan giginya, menahan kesal.
"Kenapa harus begitu?!" bisiknya, menatap Wen dengan mata penuh amarah.
Wen menoleh padanya, nadanya rendah tapi bergetar. "Kamu itu sekretarisku, Aile. Jangan buat aku kelihatan... kehilangan kendali hanya karena kamu duduk sama laki-laki lain."
Aile menatap Wen dengan tatapan yang jarang sekali ia tunjukkan tajam, menusuk, tapi matanya bergetar karena berusaha menahan emosi.
"Kenapa sih kamu marah-marah terus ? Aku memang sekertarismu tapi bukan berarti bisa kamu atur sesuka hati!" suara Aile meninggi, membuat beberapa pasang mata di kantin menoleh sekilas sebelum buru-buru pura-pura sibuk.
Wen terdiam. Ini pertama kalinya Aile melawan dengan lantang. Biasanya ia hanya diam, menunduk, atau berusaha kabur dari situasi.
"Aku cuma...aku nggak suka aja kamu bareng orang kayak dia," Wen berusaha menahan nada suaranya. Tapi jelas, intonasi rendahnya terdengar penuh api yang terbakar dalam dada.
"Kenapa nggak suka? Dia baik sama aku, ngajak ngobrol juga sopan. Emang salahnya di mana? Atau... kamu pikir aku ini milikmu?" Aile menekankan kata terakhir sambil mengangkat dagu, meskipun jantungnya berdegup kencang.
Wen terkesiap. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada seribu pedang. Ia membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar. Semua pembelaan yang ingin ia lontarkan menguap begitu saja.
Hatinya terasa teriris. Bukan karena Aile melawan anehnya, bagian dirinya justru lega melihat Aile berani bersuara. Tapi justru rasa sakit itu datang dari kenyataan yang baru mulai menyadarkannya
Kenapa ia begitu marah, begitu tak bisa menoleransi siapapun di sekitar Aile? batin wen
"Aku..." Wen menunduk, jemarinya mengepal, suara tercekat di tenggorokannya. "Aku nggak tahu kenapa. Aku cuma... nggak bisa lihat kamu sama orang lain."
Aile menggertakkan gigi, mencoba menahan perasaan campur aduk dalam dadanya. "Kalau begitu... jangan salahkan aku kalau aku nggak bisa terus diam. Aku bukan boneka yang bisa kamu simpan seenaknya, Wen."
Keheningan menelan mereka berdua. Udara di sekitarnya terasa berat, nyaris meledak.
Dan Wen, untuk pertama kalinya, merasa dirinya yang biasanya paling emosional kini benar-benar kacau.
Ia sadar... perasaan itu sudah terlalu jelas. Tapi entah kenapa, ia masih belum bisa mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri.
....
Aile melangkah cepat menuju meja kerjanya, wajahnya jelas-jelas masih kesal. Sepatu haknya beradu dengan lantai kantor, menimbulkan suara tak-tak-tak yang membuat karyawan lain refleks melirik.
Di belakangnya, Wen berjalan dengan wajah penuh penyesalan, sedikit panik, dan anehnya sopan banget.
"Aile... aku salah, aku nggak seharusnya marah kayak tadi," suara Wen rendah tapi cukup terdengar seluruh lorong.
Aile sama sekali tak menggubris. Ia malah mempercepat langkahnya.
"Aileee..." Wen menurunkan nada suaranya setengah merengek, membuat beberapa karyawan yang pura-pura sibuk dengan komputer langsung terbatuk-batuk menahan tawa.
Aile berhenti sebentar, menoleh dengan ekspresi don't you dare, lalu melanjutkan jalan lagi tanpa sepatah kata.
Wen yang biasanya galak, tegas, dan ditakuti seluruh divisi kini berjalan cepat di belakang sekretarisnya sendiri sambil berkata berulang-ulang,
"Aku minta maaf, serius. Jangan marah lagi. Aku janji nggak gitu lagi."
Seorang staf marketing menyikut temannya sambil berbisik, "Itu beneran Pak Wen? Bos kita? Kok kayak anak kecil dimarahin ibunya..."
Seketika, mereka berdua terkekeh pelan, buru-buru menunduk pura-pura mengetik saat Wen melirik sekilas.
Namun, Aile tetap cuek. Ia membuka pintu ruangannya dengan ekspresi datar, masuk, lalu brak! menutup pintu tepat di depan Wen.
Wen menatap pintu kayu itu dengan wajah frustasi. Ia mendesah panjang, lalu mengetuk perlahan sambil setengah berbisik,
"Aile, aku serius minta maaf. Kalau kamu mau, hukum aku juga nggak apa-apa. Tapi jangan diem gini, please."
Karyawan di luar ruangan hampir meledak tertawa, buru-buru menutup mulut agar tidak ketahuan. Pemandangan bos besar Wen yang biasanya menyeramkan kini berubah jadi sosok lelaki bingung yang kehilangan wibawa gara-gara seorang sekretaris, jelas jadi hiburan pagi yang tak terduga.
Dan di balik pintu, Aile tersenyum tipis sambil menutup mulutnya rapat-rapat. Ia tak menyangka Wen bisa sampai sebodoh itu hanya untuk minta maaf.
Liona berdiri di ujung lorong, menyilangkan tangan di depan dada. Ekspresinya jelas iyuh. Dari tadi ia menyaksikan Wen yang biasanya galak, tegas, dan tak kenal ampun... kini berubah jadi pria linglung yang ngejar-ngejar sekretarisnya sendiri kayak anak ayam ketinggalan induk.
"Ya ampun..." Liona mendesah panjang, menggeleng pelan. "Pasangan tolol macam apa ini..." gumamnya, cukup keras untuk didengar staf yang kebetulan lewat.
Beberapa karyawan nyaris meledak ketawa lagi, buru-buru kabur sebelum ketahuan.
Liona mendekat, menatap pintu ruangan Aile yang masih tertutup rapat. Sementara Wen, dengan wajah pasrah, masih menempelkan dahinya ke pintu sambil berbisik lirih, "Aile, ayo dong... jangan cuekin aku."
"Serius, Wen?" Liona akhirnya bersuara, membuat Wen menoleh cepat. "Aku sampai jijik lihatnya. Kamu itu Direktur, bos besar, ditakuti seantero perusahaan... tapi sekarang, jadi badut di depan pintu sekretaris sendiri?"
Wen mendengus, mencoba menjaga wibawanya. "Ini urusan pribadi. Jangan ikut campur."
Liona malah terkekeh sinis. "Urusan pribadi? Oh please. Kalau masih gini terus, kapan kalian sadar kalau sebenarnya saling suka, hah? Rasanya aku pengen sumbangin cermin biar kalian bisa lihat betapa tololnya kalian berdua."
Wen terdiam. Ia ingin membantah, tapi... kata-kata Liona seperti anak panah tepat sasaran.
Liona mendengus lagi, lalu menepuk bahu Wen dengan gaya sok iba. "Buruan deh sadar. Kalau enggak, aku sendiri yang bakal bikin drama ini meledak. Dan percaya sama aku, aku jauh lebih kreatif daripada kalian berdua."
Dengan senyum penuh arti, Liona berbalik pergi, meninggalkan Wen yang masih berdiri bego di depan pintu.
Dari dalam, Aile yang diam-diam mendengar percakapan itu menggigit bibir, jantungnya berdebar keras.
YOU ARE READING
RED STRING OF DESTINY
Teen FictionSejak masa SMA, dunia Wen dan Aile sudah saling terikat oleh takdir. Wen, putra tunggal keluarga konglomerat yang selalu disorot banyak mata, dan Aile, gadis sederhana yang bisa menapaki bangku sekolah elite berkat kecerdasannya. Perbedaan status se...
Strings of Schemes
Start from the beginning
