Strings of Schemes

3 0 0
                                        

Suasana kantor kembali normal... atau setidaknya terlihat normal. Aile akhirnya datang setelah beberapa hari menghilang. Rambutnya rapi, wajahnya tetap tenang, tapi ada jarak tak kasat mata di antara kami.

Biasanya, dia akan mengetuk pintu ruanganku dengan riang, membawa teh hambar kesukaanku, lalu menumpuk berkas sambil berkomentar sinis soal mood-ku yang buruk. Tapi hari ini, langkahnya pelan, suaranya datar, dan tatapannya hanya sebentar.

"Ini berkas rapat minggu depan, Tuan Wen," ucapnya singkat.
Wen menatapnya lama, ingin mengatakan sesuatu... tapi lidah nya kelu. Rasa bersalah itu seperti tembok tinggi yang tak bisa kuterobos.

Keheningan itu buyar ketika pintu ruangan terbuka lebar. Sosok Liona masuk dengan percaya diri, tanpa mengetuk, seperti biasanya. Senyum licik di wajahnya begitu melihat Wen dan Aile dalam diam.

"Aduh, kenapa suasananya kaku sekali di sini?" katanya sambil terkekeh. "Kalian habis bertengkar? seperti pasangan pacaran aja!"

Aile buru-buru menunduk, wajahnya memerah. 

Liona mengangkat alisnya, jelas menikmati kecanggungan ini. "Ayolah, Wen. Semua orang di kantor ini sudah tahu, hanya kamu yang masih pura-pura buta. Tatapanmu ke Aile itu lebih dalam daripada tatapanmu ke laporan keuangan."

Wen ingin membalas, tapi kata-kata itu justru menusuk terlalu dalam. Aile semakin menunduk, lalu pamit keluar dengan alasan ada pekerjaan lain. Tinggallah wen berdua dengan Liona.

Ia duduk santai di hadapan wen, menyilangkan kaki, lalu berkata dengan nada serius, "Aku punya informasi penting soal Evan."

Wen menatapnya tajam. "Apa lagi rencanamu?"

Senyum Liona menipis. "Adik Evan. Anak itu punya penyakit langka, butuh penelitian khusus untuk menemukan obatnya. Dan tebak siapa satu-satunya perusahaan farmasi di negeri ini yang punya kapasitas melakukan riset itu?"

Wen terdiam, 

"Ya," lanjutnya. "Perusahaanmu, Wen. Itu alasan sebenarnya Evan tertarik padamu. Investasi, rapat, semua basa-basi. Yang dia butuhkan adalah adiknya bisa bertahan hidup."

Wen mengepalkan tangan. "Dan kamu tahu semua ini... kenapa?"

Liona menyeringai licik, mencondongkan tubuh. "Karena aku tahu kelemahan semua orang. Termasuk Evan. Dan aku tahu caranya agar dia semakin terikat padaku."

Wen mendesah keras, merasa muak sekaligus tak berdaya.
Sekali lagi, aku terseret dalam permainan Liona.

.....

Aile menunduk, menggenggam erat ponselnya. Perutnya kosong sejak pagi, jadi ia memutuskan turun sebentar ke kantin untuk membeli makanan ringan. Wajahnya masih terlihat letih, tapi ia berusaha tetap tenang, seolah hari-hari lalu tak pernah terjadi apa-apa.

Namun langkahnya terhenti ketika seorang pria menghampirinya.
"Nggak salah lihat kan? Ini sekretaris andalan Direktur Wen."

Aile mendongak. Naka karyawan divisi pemasaran tersenyum ramah sambil menenteng kopi kaleng. Mereka sudah beberapa kali berbicara di lift, dan Naka selalu punya cara membuat suasana cair.

"Oh, Naka. Iya... lagi cari roti aja," jawab Aile kikuk.

"Wah, boleh temenin nggak? Mumpung lagi istirahat sebentar," katanya sambil menunjuk kursi kosong di pojok kantin. Aile ragu sejenak, tapi akhirnya duduk.

Di sisi lain, Wen duduk di ruang kerjanya dengan wajah gelisah. Ia sudah menelepon Aile berkali-kali, tapi tak satu pun diangkat. Rasa khawatir berubah jadi kegelisahan. Tanpa pikir panjang, ia keluar ruangan, menyusuri koridor, hingga akhirnya menuruni tangga menuju kantin.

RED STRING OF DESTINYWhere stories live. Discover now