The invisible red string

3 0 0
                                        

Ruang rapat di Hotel Country X dipenuhi dengan cahaya lampu kristal yang megah, meja panjang berlapis kaca, dan suasana formal yang menekan. Aroma kopi mahal dan parfum elegan berbaur di udara.

Wen duduk di sisi kanan meja, jas hitamnya rapi tapi wajahnya jelas penuh ketegangan. Di sampingnya, Liona tampak anggun dalam setelan krem yang sederhana namun berkelas. Senyumnya terukur, tatapannya percaya diri seperti biasa, dia tahu cara mencuri perhatian.

Sementara di seberang meja, Evan duduk dengan sikap tenang khas seorang pemilik perusahaan teknologi besar. Matanya tajam, namun kini sesekali melirik ke arah Liona. Ada sesuatu dalam cara wanita itu berbicara, tegas tapi lembut, membuatnya terpikat tanpa bisa menghindar.

Perwakilan dari pihak Evan membuka diskusi. "Jumlah investasi yang diminta terlalu besar. Angka ini tidak realistis jika dibandingkan dengan potensi pasar yang ada."

Wen mengetuk pena di meja dengan keras. "Tidak realistis? Perusahaan farmasi kami sudah berdiri puluhan tahun. Produk kami jelas, pasar kami stabil. Kalau kalian tidak bisa melihat itu!"

"Wen." Liona menyentuh lengannya pelan, mencoba menenangkan, tapi langsung ditepis kasar.

"Jangan ikut campur!!!" bentak Wen dengan suara keras, membuat beberapa orang di ruangan menoleh. Tangannya bahkan mencengkeram pergelangan tangan Liona, agak kasar, sebelum ia lepaskan kembali.

Liona hanya tersenyum tipis, seolah sudah memprediksi sikap itu.

Evan memperhatikan dengan seksama. Alisnya berkerut, jelas tidak suka. Kenapa pria itu memperlakukan wanita seanggun ini dengan cara seperti itu?

"Bapak Evan," suara Liona kembali terdengar, lembut tapi penuh wibawa. "Memang benar, angka investasi kami besar. Tapi jika dilihat dari inovasi yang akan kami kembangkan khususnya di bidang bio teknologi kerjasama ini bukan hanya tentang profit jangka pendek. Ini tentang masa depan industri kesehatan."

Semua mata kini tertuju pada Liona. Bahkan Evan tidak bisa mengalihkan pandangannya. Caranya menyusun kata, matanya yang berbinar penuh keyakinan... terlalu memikat.

"Jika angka ini terlalu tinggi," lanjut Liona, "kami terbuka untuk diskusi ulang. Anggap saja ini langkah awal untuk membangun fondasi yang lebih kuat."

Ruangan mendadak hening. Pihak investor tampak berpikir ulang, sementara Evan bersandar di kursinya, menatap Liona dengan senyum samar.

"Menarik," katanya pelan, tapi cukup terdengar. "Sangat menarik."

Wen meremas jemarinya di bawah meja, merasa muak. Jadi ini lagi-lagi tentang Evan, kan? Semua sandiwara ini... semua kekasaran yang kubuat, hanya agar dia bisa terlihat sebagai penyelamat.

Namun di balik semua itu, ada tatapan tajam dari Evan ke arahnya tatapan tidak suka, tatapan yang menilai Wen sebagai pria kasar yang tidak tahu cara memperlakukan wanita.

Dan itu, entah kenapa, justru membuat Wen ingin melempar meja keluar jendela.

Rapat selesai tanpa kesepakatan final. Para petinggi perusahaan satu per satu meninggalkan ruangan, suara langkah kaki dan pintu yang berderit menutup membuat suasana menjadi hening.

Kini hanya ada Wen dan Liona.

Wen merosotkan tubuhnya ke kursi, mengusap wajah kasar. "Lihat kan? Rapat macam apa ini. Mereka pikir aku minta uang untuk main-main?"

Liona tidak menjawab. Ia berdiri, menyilangkan tangan di depan dada, lalu melangkah mendekati Wen. Senyumnya samar, penuh perhitungan.

"Wen." suaranya lembut, tapi tajam. "Kamu mau selamat dari perjodohan konyol itu, kan?"

RED STRING OF DESTINYWhere stories live. Discover now