The invisible red string

Start from the beginning
                                        

Wen mendongak malas. "Lalu?"

"Maka kamu harus mainkan peranmu dengan baik. Evan belum sepenuhnya percaya... tapi aku tahu dia memperhatikanku." Liona meraih lengan jas Wen, lalu menunduk sedikit, berbisik, "Aku tahu dia masih ada di luar. Mengintip dari celah pintu."

Wen spontan menoleh, tapi segera ditahan oleh genggaman Liona. "Jangan lihat. Kalau kamu melirik, semuanya hancur."

Wen mengerang frustasi. "Jadi sekarang aku harus ngapain lagi?!"

Liona menatapnya dengan sorot dingin, kemudian tanpa ragu berkata, "Tampar aku. Tarik rambutku. Kasar, seperti tadi. Biar Evan makin yakin kalau aku wanita lemah yang butuh dilindungi."

Wen terbelalak. "Apa kamu gila?! Aku bukan badut buat obsesi cintamu itu!"

"Kalau kamu gagal..." Liona mendekat, wajahnya nyaris menempel pada Wen, suaranya pelan tapi penuh ancaman. "...aku tidak akan segan-segan membiarkan ayahmu menjebakmu dalam perjodohan itu. Dan reputasi perusahaanmu akan jatuh bersamamu."

Jantung Wen berdegup keras. Ia menggertakkan giginya, tangannya mengepal di sisi tubuh. Sial. Wanita ini...

Liona tersenyum tipis melihat Wen bimbang. "Ayo, adikku. Mainkan peranmu. Buat Evan percaya kalau aku adalah korban dari seorang direktur kasar. Hanya begitu caranya."

Ruangan hening. Ketegangan mengikat udara. Dari celah pintu, tatapan Evan memang masih mengawasi, penuh rasa ingin tahu sekaligus amarah yang ditahan

Wen menggertakkan giginya, rahangnya mengeras. Semua dalam dirinya menolak. Tapi bayangan wajah ayahnya, ancaman perjodohan, dan ancaman Liona sendiri membuat dadanya makin sesak.

"Cepat, Wen," bisik Liona, senyumnya setengah mengejek. "Kalau tidak sekarang, semuanya percuma."

Wen mengepalkan tangan, lalu dengan gemetar mengangkatnya. "Maaf..." gumamnya hampir tak terdengar.

Dan plak! tamparan itu mendarat di pipi Liona. Tidak terlalu keras, tapi cukup untuk membuat suara menggema di ruang rapat yang sepi.

Liona menoleh ke samping, menutup pipinya dengan dramatis. Air matanya berkilau, entah asli atau pura-pura. Dia lalu menatap Wen dengan sorot penuh luka, seakan-akan benar-benar seorang korban.

"Bagus..." bisiknya sambil tersenyum samar.

Wen ingin muntah melihat aktingnya sendiri.

Namun Liona belum selesai. Ia memegang tangan Wen, lalu menaruhnya di rambutnya. "Tarik. Biar lebih meyakinkan."

"Aku...." Wen menelan ludah, wajahnya dipenuhi rasa bersalah. Tapi akhirnya ia menarik rambut Liona, meski tidak sekuat yang diminta.

Liona meringis kecil, lalu menjatuhkan diri ke kursi, membuat adegannya semakin nyata.

Dan benar saja dari celah pintu, Evan berdiri kaku. Kedua tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Sorot matanya gelap penuh amarah. Pria itu... memperlakukan wanita sebaik dia dengan cara seperti ini?!

Ia menutup pintu pelan, tapi matanya tak lepas dari bayangan Wen.

Wen sendiri berdiri terpaku, dadanya naik turun. Tangannya masih bergetar, wajahnya hampa. "Kak... apa kamu puas sekarang?"

Liona mengangkat wajahnya, tersenyum tipis dengan pipi yang memerah karena tamparan tadi. "Sangat puas. Percayalah, ... mulai sekarang, Evan akan semakin memperhatikanku. Dan kamu..." ia berdiri, merapikan rambutnya, "...akan semakin terlihat sebagai pria kasar yang pantas dibenci."

Wen menunduk, menahan napas. Aku bahkan tidak tahu siapa sebenarnya musuhku sekarang. Ayahku? Atau... Liona?

..........

Basement hotel terasa sepi. Hanya suara langkah sepatu dan deru samar pendingin ruangan yang terdengar. Di sudut, dekat pilar beton besar, Liona berjongkok sambil menyandarkan tubuh ke dinding. Bahunya berguncang, air mata menetes di pipi.

Ia memilih tempat itu dengan sengaja tepat di jalur parkir Evan.

Dan benar saja. Tak lama kemudian, mobil hitam mengilap berhenti. Evan keluar, jasnya masih rapi, wajahnya tampak terkejut melihat sosok Liona di lantai, tubuhnya gemetar seperti menahan sakit.

"Liona...?" suara Evan terdengar serius. Ia buru-buru melangkah mendekat. "Kenapa kamu di sini?"

Liona menunduk, suaranya serak, patah-patah. "Aku... aku baik-baik saja... jangan khawatir..."

Tapi saat Evan mendekat, matanya langsung menangkap lengan Liona yang sedikit terbuka dari lengan jasnya. Ada bekas memar ungu kebiruan, jelas terlihat di kulit pucatnya.

Evan terdiam, matanya melebar. Memar... bekas cengkeraman Wen tadi?

"Ini..." Evan berjongkok di hadapannya, jemarinya dengan hati-hati menyentuh lengan itu. "Apa dia yang melakukan ini padamu?" suaranya rendah, penuh kendali, tapi jelas ada bara di dalamnya.

Liona menggigit bibir, menunduk. Tangisnya makin deras, seakan-akan ingin menyembunyikan sesuatu padahal justru menegaskan dugaannya.

"Aku... aku nggak apa-apa. Tuan Wen hanya... dia sedang stres. Jangan salahkan dia..."

Evan menatapnya tak percaya. Hatinya terasa mengeras. "Jangan salahkan dia? Kau bahkan berusaha melindunginya? Padahal dia menyakitimu seperti ini?"

Liona buru-buru menggeleng, suaranya pecah. "Tolong... jangan benci dia. Aku mohon..."

Evan terdiam beberapa detik. Napasnya berat. Lalu, tanpa banyak kata, ia menanggalkan jasnya dan menyampirkannya ke bahu Liona.

"Ayo. Kita ke rumah sakit. Aku nggak akan biarkan kau pulang dengan keadaan begini."

Liona mengangkat wajahnya, matanya masih basah tapi bibirnya tersenyum samar senyum kemenangan. Ya, Evan. Teruslah percaya kalau aku korban. Teruslah semakin dekat denganku.

Sementara itu, dari kejauhan, Wen menyaksikan semuanya dengan rahang mengeras. Ia berdiri di balik salah satu pilar, kedua tangannya terkepal, tatapannya penuh campuran muak, marah, dan getir.

Permainan gila apa lagi ini, lionaaaa...?

RED STRING OF DESTINYWhere stories live. Discover now