Halo... jangan lupa untuk follow dan vote dulu ya.
***
21 tahun bukan waktu yang sebentar. Aruna masih suka mikir, gimana caranya dia bisa tahan sama Ray selama itu. Suaminya dingin, keras kepala, posesifnya nggak ketulungan. Tapi nyatanya, setiap tahun mereka masih bisa duduk bareng di meja restoran favorit, merayakan anniversary dengan cara mereka sendiri.
Malam itu, mereka berempat duduk di meja bundar dekat jendela kaca besar. Lampu-lampu kota Jakarta berkilau kayak bintang jatuh, menambah suasana jadi romantis. Setidaknya, romantis menurut Aruna.
"Mi, suapin aku dong." Renzo, anak bungsunya, menempel manja di lengan Aruna. Usianya sudah tujuh belas, tapi kelakuannya lebih kayak bocah tujuh tahun.
Ray langsung menatap tajam. "Renzo." Suaranya berat, tegas, penuh peringatan. "Itu istri Pipi, bukan suster kamu."
Renzo cengengesan, makin melingkarkan tangan ke lengan mamanya. "Tapi kan Mimi orang tua aku, Pi. Mimi, aku mau cobain dagingnya."
"Renzo." Ray makin menggeram, ini sudah menjadi bahan tontonan Elenora Aryasatya (Ara), anak sulung mereka yang duduk di sebelahnya. Gadis itu menopang dagu dengan satu tangan, matanya menatap kosong ke piring.
"Huftt..." Ara mendesah, suaranya penuh lelah. "Renzo, udah jangan buat Pipi marah." Ucap nya datar, memang Ara lebih dominan mengambil sifat Ray.
Aruna tertawa kecil, meski wajahnya jelas-jelas pusing. "Udah dulu ya berantem nya, sekarang kita makan dulu." Ia lalu dengan sabar memotong daging steak di depannya, menaruhnya ke piring Ray dulu. "Nih, kamu makan. Jangan ngambek gara-gara anak sendiri."
Ray mendengus, tapi menerima potongan daging dari istrinya. Tatapannya sedikit melunak. Kalau udah sama Aruna, sekeras apapun hatinya, Ray tetap kalah.
Sementara Renzo masih nempel ke Mimi nya, Ara mendengus keras. "Renzo, jangan gangguin Mimi. itu Mimi lagi motong entar kena tangan Mimi." Renzo malah menjulurkan lidah nya.
"Udah, Ara. Kamu juga makan yang banyak, adik kamu jangan dimarahin." Aruna menyodorkan roti ke piring putrinya, untuk menyudahi perdebatan itu. "Mimi seneng deh, kalian semua sayang sama Mimi."
Ara tersenyum, Ya benar ia ralat mereka memang sangat menyayangi dan mencintai Aruna.
Ponselnya bergetar di atas meja. Ia melirik layar, keningnya berkerut. Ibu Naya. Mama dari sahabat terdekatnya.
"Hallo, Tante?" suara Ara pelan.
Ucapan dari seberang sana bikin wajahnya pucat seketika. Sendok di tangannya bergetar, hampir terlepas. "Ap—apa...? Iya, iya Tante. Aku... aku segera ke sana."
Aruna langsung menoleh. "Kenapa, sayang?"
Ara menelan ludah, matanya berkaca-kaca. "Naya, Mi... Naya... dia... meninggal. Bunuh diri..."
Suasana meja langsung hening. Semua terdiam, Aruna tertegun lalu buru-buru mengusap mata yang mendadak panas. Ray menghela napas berat, wajahnya memperlihatkan rasa berduka.
"Cepetin makan nya," suara Ray rendah tapi tegas. "Kita ke rumah duka setelah ini."
Aruna menggenggam tangan suaminya, berusaha menahan isak. Malam anniversary yang harusnya penuh tawa berubah jadi malam yang menyesakkan dada.
***
TBC.
YOU ARE READING
LOCKER
RandomSekilas, hidup Elenora Aryasatya tampak sempurna ia adalah anak sulung dari Aruna Kinasih dan Rayendra Aryasatya-keluarga hangat yang penuh cinta, punya adik yang selalu menempel manja, dan sahabat yang selalu bisa membuat hari-harinya ceria. Namun...
