Karena author merasa berdosa menamatkan novel ini secara buru-buru, here is the extra chapter for you (◍•ᴗ•◍)❤
~~**~~
🌞Double Trouble🌞
Di hari itu, ia sudah bisa merasakannya. Hari saat dirinya terbangun di dalam peti mati, seluruh kerajaan bermuram duka di sekelilingnya, suaminya yang nampak tak berjiwa berdiri di hadapan kotak kayu dihiasi bunga kematian. Betapa pemandangan itu terasa bagaikan mimpi namun begitu nyata, Ariel sendiri tak mengerti bagaimana ia bisa kembali, ke tubuh ini.
Tok tok tok
Mata coklat itu terbuka tiba-tiba saat mendengar suara ketukan di pintu kamarnya, ia terbangun, kepalanya pusing serta sekujur tubuhnya terasa sakit karena tidur di meja belajarnya. Gadis itu pun berdiri, berjalan ke arah pintu kamar kos yang terkunci, kemudian membukanya dan mendapati seorang pemuda, manis, tersenyum padanya. "Baru bangun, sayangku? Ayo, kamu ada kelas pagi kan?" ucap pria itu dengan semangatnya.
Vallesya masih mencoba menyadarkan dirinya, bukankah ia sudah menjadi ratu Hasgan sekarang? Lantas kenapa saat ini ia dibangunkan oleh kekasihnya saat masih berkuliah di Bekasi? "Mas?" ucapnya dengan nada bingung, masih mengerenyit merasa pusing di kepalanya, "Kok mas disini?" tanya Vallesya.
"Loh mas jemput biar kita berangkat ke kampus bareng, sayang. Yuk siap-siap" ucap Syam, tersenyum manis bagaikan kopi gula aren kesukaan Vallesya, cerah nan hangat bagai matahari di pagi yang dingin, dan entah kenapa Vallesya kini merasa Dion dan Syam adalah orang yang sama.
Vallesya pun mengangguk pelan, "Oke, aku mandi dulu ya. Mas tunggu sebentar" ucapnya berbalik masuk ke dalam kamar, meninggalkan Syam di depan seraya menunggunya.
Tak lama kemudian, Vallesya selesai dengan ritual paginya, dan siap menyambut hari. Ia dan Syam kini berjalan bersama menuju kampus karena jarak antara kosan dan kampus mereka hanya lima menit berjalan kaki.
Vallesya menjalani harinya seperti biasa, seolah tidak ada yang terjadi pada dirinya semalam. Dan ia tak bisa menceritakan hal ini pada siapapun, karena tak ingin teman-temannya menganggap Vallesya sebagai perempuan gila. Dan begitulah, ia menyimpan segala rahasia dan memori yang tak mampu ia lupakan itu, hingga berpuluh-puluh tahun lamanya.
Hingga setelah ia lulus kuliah, bekerja, menikah meski penuh drama keluarga, melahirkan seorang putra yang kemudian ia beri nama Rumi karena Jalaluddin Rumi adalah tokoh filsuf favorit Syam, membesarkan anaknya meski di awal ia merasa seperti ingin mati karena tanggung jawab seorang ibu ternyata bukan main beratnya, beruntung sang suami selalu menemani di setiap waktu-waktu rendah Vallesya, hingga Rumi pun dewasa, begitu pula dirinya dan sang suami yang kini menghabiskan waktu mereka di rumah sederhana di pinggiran kota Jawa Tengah, dimana ia dan Syam sudah merencanakan masa pensiun mereka yang tenang di kaki bukit yang rindang.
"Aku udah bilang kan, mas? Mas gak boleh mati duluan" ucap wanita tua yang rambutnya kini hampir semua memutih.
Sedang sang suami yang tengah duduk di kursi menikmati secangkir kopi hitamnya itu hanya terkekeh, "Iya iya sayangku" ucapnya tidak ingin berseteru terlalu jauh. Meski jujur, tak ia sangka bahwa mereka berdua kini menghabiskan masa tua bersama. "Lagian kenapa, toh? Ngomongin mati segala, nikmati aja hari-hari kita sekarang loh" ucap Syam menyeruput kopinya.
Vallesya tersenyum simpul, namun Syam tidak menyadari senyum itu, "Gak papa mas, kadang aku gak tau harus gimana hidupku tanpamu" ucapnya. Tanpa terasa setetes air mata pun mengalir di pipi keriputnya, ah entahlah, menginjak usia 75 tahun membuatnya lebih sensitif terhadap segala hal.
"Ididih, manis banget istriku ini" ucap Syam terkekeh. "Aku juga ndak tau gimana hidupku tanpamu, sayang" balas Syam yang kini berlutut di hadapan sang istri, mencium tangan keriput berhiaskan cincin kawin mereka. Tangan Syam terulur mengusap air mata di pipi sang istri, keduanya bersitatap dalam kasih, penuh cinta, masih sama seperti puluhan tahun lalu saat mereka awal menjalin asmara.
YOU ARE READING
I Wrote This Story
FantasyCOMPLETED [Spin off of I Was The Evil Witch] Tidak mungkin! Aku bergegas keluar dari kamar mewah itu, kaki kecilku berlari tanpa arah dan tujuan, mencari jawaban dari spekulasi gilaku. Tidak mungkin, kau pasti berbohong. "Ah, Ariel? Putri kecilku su...
