Prolog

25 7 0
                                        

Suatu hari, seorang anak kecil sedang bermain riang di dekat lingkungan rumahnya. Tanpa sengaja, bola yang ia tendang melambung terlalu jauh dan jatuh ke area rawa-rawa. Saat ia melangkah masuk untuk mengambilnya, tiba-tiba seekor ular muncul dari balik semak basah dan menggigit kakinya.

Dengan panik, Gio berlari sambil menangis menuju rumah. "Ibu... Ibu! Aku digigit ular! Ayo, Bu... kita ke rumah sakit! Cepat!" serunya terbata-bata.

Ibunya terperanjat. "Aduh, Gio... yang benar kamu? Digigit di bagian mana?"

Gio menunjuk betisnya. Namun, ketika ibunya menunduk untuk melihat, tak ada sedikit pun bekas gigitan. Gio ikut terkejut. Padahal, tadi ia jelas melihat darah mengalir dari sana.

"Mana? Ibu nggak lihat apa-apa," ucap ibunya ragu.

"Tadi... tadi di sini, Bu!" kata Gio sambil menunjuk-nunjuk betisnya lagi.

"Ya sudah, ayo kita ke rumah sakit saja."

Mereka pun segera berangkat. Sesampainya di sana, dokter hanya memeriksa sekilas sebelum berkata, "Anak ini cuma demam." Ia lalu menuliskan resep obat penurun panas.

"Tuh kan, Ibu bilang apa. Mungkin kamu cuma halusinasi karena demam," ujar ibunya. "Kamu tunggu di sini, Ibu mau tebus obat dulu."

Selama menunggu ibunya menebus obat, Gio hanya duduk terpaku. Kepalanya terasa berat, tapi betisnya masih berdenyut nyeri. Ia masih yakin, apa yang dialaminya tadi bukan mimpi atau halusinasi.

Suara kursi bergeser membuatnya menoleh. Seorang pria dengan tangan kiri digips duduk di sampingnya. Wajahnya tersenyum, tapi matanya terasa mengamati terlalu lama.

“Kamu sakit?” tanyanya.

“Iya… kata dokter aku cuma halusinasi karena demam,” jawab Gio pelan, matanya tertuju pada gips yang penuh stiker warna-warni. “Itu tangan Om kenapa?”

“Oh ini, habis jatuh dari motor,” ucapnya sambil mengusap bagian bawah gips.

"Pasti anak dan istri om khawatir"

"Iya," jawabnya sambil tersenyum.

Beberapa menit kemudian, ibu Gio kembali sambil membawa obat. Ia memandang Gio dengan alis berkerut.

“Kamu tadi ngobrol sama siapa, Gio?” tanyanya.

“Sama Om ini…” Gio menoleh ke samping, namun kursi di sebelahnya sudah kosong. Pria bergips itu entah ke mana.

Ibu Gio menghela napas. “Ibu khawatir kalau kamu bicara sama orang yang nggak dikenal lagi, mengerti?”

“Iya, Bu…” jawab Gio pelan.

Setelah pulang dari rumah sakit, ibu Gio langsung masuk dapur untuk menyiapkan makan malam. Tak lama lagi, ayah Gio akan pulang.

Suara pintu depan terbuka, disertai langkah kaki yang familiar. “Ayah pulang…”

“Ayahhh!” Gio berlari memeluk ayahnya erat-erat.

“Anak Ayah katanya sakit, ya? Coba sini Ayah periksa…” tangan ayahnya menyentuh kening Gio. “Waduh, panas. Makanya jangan sering minum es, Nak.”

Gio hanya terkekeh kecil, seolah lupa sejenak pada rasa nyeri di betisnya.

“Apa kata dokter?” tanya ayahnya pada sang istri.

“Katanya Gio cuma berhalusinasi. Dia bilang habis digigit ular, tapi dokter periksa aman saja,” jawab ibunya sambil menata piring di meja makan.

Seketika, wajah ayah Gio berubah. Senyumnya lenyap, digantikan sorot mata yang tajam namun tertahan. Tangannya yang tadi mengusap kepala Gio kini terhenti.

Ayah Gio tiba-tiba berdiri dan berjalan cepat ke dapur. Tangannya meraih pisau kecil, plester, kasa, dan botol alkohol dengan gerakan tergesa-gesa.

“Sayang… kamu mau ngapain?” tanya istrinya curiga.

Ayah Gio tidak menjawab. Ia hanya kembali ke ruang tamu dan berlutut di hadapan putranya.

“Nak, boleh pinjam jarinya sebentar?” suaranya terdengar serius.

Gio menatap ayahnya bingung, tapi menurut. Ia mengulurkan jari telunjuknya.

“Maafin Ayah… kamu tahan sebentar, ya.”

Tanpa banyak bicara, ayahnya menggores ujung jari Gio dengan pisau.

“Ayahhh! Sakit!” teriak Gio, darah mulai menetes. Ayahnya sudah menyiapkan kasa dan alkohol, berjaga jika pendarahannya bertambah.

“Sayang! Kamu sudah gila, ya?!” seru istrinya panik.

Namun baru beberapa detik, keduanya terdiam. Luka di jari Gio perlahan menutup… sendiri. Kulitnya kembali utuh, hanya menyisakan rasa geli seperti ditusuk jarum-jarum halus.

“Ayah… apa aku berhalusinasi lagi?” suara Gio bergetar.

Ayah dan ibunya saling menatap. Keduanya terpaku, terdiam, tak mampu berkata apa-apa. Rasa tak percaya membuat mereka serasa terhempas di lantai.

Malam itu, setelah Gio terlelap di kamarnya, ayahnya meminta Jihan, istri sekaligus ibu Gio, untuk memastikan anak mereka tidur nyenyak. Begitu Jihan kembali ke ruang tamu, ia melihat suaminya duduk termenung, pandangan kosong menembus lantai.

“Kamu… sudah tahu ini bakal terjadi? Kamu nyembunyiin sesuatu dari aku?” tanya Jihan pelan namun tajam.

Bersambung....

Van CorvesWhere stories live. Discover now