Hujan turun deras sejak pagi. Seolah langit pun tahu, ada sesuatu yang tidak beres di balik pintu rumah itu.
Zayyan duduk memeluk lututnya di bawah meja makan yang kakinya sudah goyah. Dapur penuh aroma gosong, sisa kemarahan yang dilemparkan pagi tadi. Ibunya belum keluar dari kamar—terkunci sejak semalam, setelah suara benturan keras terdengar dari dalam. Sementara adiknya, Rael, masih meringkuk di bawah selimut di ruang tamu, terlalu takut untuk bangun dan bersuara.
Ayah mereka belum pulang. Atau mungkin memang belum selesai mabuk di luar sana. Zayyan tidak peduli. Sudah lama ia berhenti menghitung jam, menit, dan detik pulangnya orang yang justru membuat rumah terasa seperti neraka.
Zayyan masih empat belas tahun. Tapi tubuhnya tumbuh terlalu cepat—bukan karena nutrisi, melainkan karena tekanan. Dan hatinya, tumbuh lebih lambat—karena tak pernah sempat belajar cara mencintai diri sendiri.
Namun ada sesuatu yang selalu menjadi pelindungnya.
Bukan pintu rumah.
Bukan ibu kandungnya yang terlalu lelah untuk bertahan.
Bukan adiknya yang terlalu kecil untuk mengerti.
Tapi mereka—delapan cahaya yang entah kenapa tak pernah padam di ujung terowongan gelap miliknya.
Delapan sahabat yang tak pernah bosan menjemputnya pulang. Meski yang dijemput bukan pulang ke rumah—melainkan ke rasa aman.
---
Hari itu, tepat pukul tiga sore, HP jadul Zayyan bergetar. Layarnya retak, tapi notifikasinya masih bisa dibaca.
> Hyunsik: “Turun, aku di depan gang. Bawa jas hujan ya.”
Zayyan tersenyum miris. Gang rumahnya becek, selalu penuh lumpur. Tapi Hyunsik, si kakak tertua dari lingkaran itu, tak pernah peduli seberapa kotor sepatunya akan jadi. Yang penting, Zayyan keluar dari rumah.
Ia menyambar jaket lusuhnya dan menarik Rael perlahan, membisik, “Aku cuma keluar sebentar. Jangan buka pintu ke siapa pun, ya?”
Rael mengangguk pelan. Matanya masih sembab, tapi setidaknya tak lagi ketakutan seperti semalam.
Zayyan melangkah pelan menuruni tangga. Langit masih menangis. Namun pelukan Hyunsik yang menunggunya di ujung gang, dengan motor dan dua jas hujan, adalah matahari pertama hari itu.
---
Mereka berkumpul di basecamp—sebuah ruangan kosong di belakang warung milik keluarga Lex. Ruangan itu bukan tempat mewah, hanya beralas karpet tipis dan bantal bekas, tapi di sanalah Zayyan merasa hidup.
Lex menyodorkan kotak nasi, tanpa banyak kata.
Beomso langsung menghidupkan speaker kecil dan memutar lagu kesukaan Zayyan.
Wain menyender di dinding, sesekali menyodorkan air mineral ke arahnya.
Gyumin membenarkan rambut Zayyan yang basah dan berantakan dengan handuk kecil.
Sing sibuk menyusun ulang playlist Spotify mereka agar tak terlalu sedih.
Davin mengeluarkan camilan dari tas dan langsung meletakkannya di depan Zayyan.
Leo, si pendiam yang paling jarang bicara, hanya duduk di sudut ruangan. Tapi matanya tak pernah lepas dari Zayyan—seolah siap menjadi perisai kapan saja.
Zayyan memandangi mereka satu per satu.
Bagaimana bisa… orang-orang yang tidak memiliki hubungan darah dengannya, justru menjadi tempat paling aman?
Bagaimana bisa… di dunia yang penuh luka, masih ada tangan-tangan yang tak ingin melepasnya?
Hyunsik meraih bahu Zayyan, menepuknya pelan. “Kamu kuat. Tapi kamu nggak perlu kuat sendirian.”
Zayyan menunduk. Air matanya jatuh, satu demi satu. Bukan karena sedih, tapi karena akhirnya ia merasa… dimengerti.
To be continued
