Zayyan tak pernah tahu bagaimana rasanya hidup di bawah atap yang disebut “rumah” jika rumah seharusnya berarti tempat pulang, tempat aman, tempat di mana pelukan hangat menggantikan teriakan dan tamparan.
Di rumahnya, pagi bukan dibuka oleh suara canda, tapi derak sabuk yang mendarat ke kulit ibunya. Sore bukan diisi dengan pelukan hangat seorang ayah, tapi dengan suara teriakan dan tubuh adiknya yang menggigil di sudut dapur, menahan tangis yang tak berani keluar.
Zayyan hidup di keluarga tak Cemara. Rumah mereka bukan rumah impian—hanya bangunan berdinding dingin, berisi retakan, baik pada tembok maupun di hati penghuninya.
Namun, Zayyan bertahan.
Ia tumbuh—walau tidak dalam cinta, setidaknya dalam tekad.
Dan kekuatannya tak datang dari dalam rumah itu.
Melainkan dari delapan tangan yang selalu siap menariknya kembali ke permukaan saat ia mulai tenggelam.
Hyunsik, dengan suara hangatnya yang selalu berkata, "Kamu nggak sendirian."
Lex, yang selalu mengisi kantong bajunya dengan permen saat tahu Zayyan belum makan.
Beomso, yang diam-diam mengantar Zayyan pulang di malam hari meski rumah itu menakutkan.
Wain, si cuek yang mendadak jadi penjaga paling setia saat Zayyan menangis.
Gyumin, dengan senyum canggung tapi matanya yang jujur memohon, "Jangan menyerah, ya."
Sing, yang rela duduk berjam-jam di trotoar hanya untuk menemani Zayyan diam.
Davin, yang mengirim lagu-lagu penyemangat setiap malam sebelum tidur.
Dan Leo, yang paling pelit berkata manis, tapi satu kalimat darinya cukup untuk menyelamatkan hidup Zayyan:
"Kalau dunia menolak kamu, biar kami jadi duniamu."
Mereka tak punya darah yang sama. Tapi delapan sahabat itu lebih dari keluarga.
Zayyan memang lahir di rumah tanpa Cemara. Tapi berkat mereka, Zayyan tumbuh menjadi pohon—rapuh, tapi tetap berdiri.
Karena kadang, keluarga bukan tentang siapa yang melahirkanmu. Tapi siapa yang memilih untuk tinggal, ketika semua orang pergi.
To be continued
