🕊️ BATAS YANG RAPUH

6 2 0
                                        

Matahari bersinar terik di atas atap rumah Alvin. Di dalam, ruang keluarga penuh ketegangan. Ayah dan ibunya duduk bersilang tangan, wajah mereka serius.

“Dia gadis baik, tapi bukan dari keyakinan kita,” ucap sang ayah, menahan nada suaranya agar tetap tenang.

Alvin berdiri tegak di hadapan mereka, mencoba menjelaskan perasaannya. Tapi kata-katanya selalu terbentur dinding tradisi dan kekhawatiran.

Di sisi lain kota, Alia mengalami hal yang hampir serupa. Ibunya menyodorkan foto calon laki-laki dari komunitas gereja. “Kenapa kamu tidak mencoba mengenal dia? Seiman. Lebih mudah.”

Alia menggeleng. “Aku sudah mengenal seseorang, Ma.”

Sang ibu terdiam. Lalu suaranya melunak, namun tetap menusuk. “Dia tak bisa menikahimu di gereja, sayang. Kau tahu itu, bukan?”

Alvin duduk di kamarnya malam itu, memandangi ponsel dengan layar gelap. Ia ingin menelepon Alia, tapi tak tahu harus berkata apa.

Alia pun memandangi jendela kamarnya. Langit malam tampak begitu jauh. Hatinya penuh pertanyaan, tapi jawabannya terus menghindar.

Keesokan harinya, mereka bertemu di taman kecil dekat gereja tua. Wajah mereka lelah. Tapi mata mereka masih saling menyalakan harapan.

“Orang tuaku melarang,” ucap Alvin pelan. “Tapi aku tak bisa berhenti mencintaimu.”

Alia menarik napas dalam. “Kita mencintai dengan cara yang berbeda. Tapi keluarga kita mencintai kita dengan cara yang mereka tahu benar.”

Alvin membuka ponselnya dan membaca ayat yang ia simpan diam-diam:

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya.”

 (QS. Al-Ankabut: 8)

Alia mengangguk pelan. Ia pun membuka Alkitab yang selalu ia bawa dalam tas kecilnya dan membaca:

“Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu.”
 (Keluaran 20:12)

Dua nasihat yang sama. Dua kasih yang memanggil mereka pulang. Tapi hati mereka masih berpegang pada sesuatu yang belum rela dilepaskan.

“Kalau kamu disuruh memilih antara aku dan imanmu... kamu akan pilih apa?” tanya Alia, tak berani menatap mata Alvin.

Alvin tak menjawab. Ia hanya menatap langit, seolah berharap hujan turun dan menyapu semua pilihan sulit itu.

Tangan mereka bersentuhan. Lalu terlepas perlahan. Tidak ada kata perpisahan, tapi juga tak ada janji bahwa mereka akan tetap bersama.

Di batas yang semakin rapuh itu, cinta dan keyakinan mulai saling menggerus. Mereka belum putus, tapi juga tak lagi utuh.
















JANGAN LUPA VOTE AND KOMEN😊
TERIMA KASIH TELAH MENCAPAI 🥰

TAKDIR YANG MATIDonde viven las historias. Descúbrelo ahora