• emosi bertumpuk

Start from the beginning
                                        

Taehoon mendorong kursinya pelan, nafsu makannya hilang.

"Aku nggak lapar lagi."

Akhirnya ibunya bicara, lembut.

"Taehoon, makan dulu."

Taehoon menatap ibunya. Nada di wajahnya melembut. Dia mengangkat sumpit lagi, perlahan.

Ayahnya nggak berkata lagi tapi udara di meja makan jadi berat. Penuh hal-hal yang nggak sempat diucapkan.

Beberapa menit kemudian, suara ayahnya terdengar lagi, lebih pelan.

"Ayah nggak pengen bikin kamu sengsara. Ayah cuma pengen kamu hidup sesuai potensimu."

Taehoon mengangguk sedikit.

"Aku tau."

Dia nggak menambahkan apa-apa lagi.

Karena gimana caranya dia bisa jelasin kalau anak yang mereka pikir dia atlet, anak penurut, petarung yang disiplin...

Udah gak kerasa seperti dirinya sendiri?

Karena akhir-akhir ini, semua hal yang bikin jantungnya berdebar...

Bukan soal medali emas.

Tapi tentang perempuan yang ciumannya kayak badai dan bisikannya kayak tantangan dan semuanya terasa seperti dunia baru yang cuma dia yang bisa masuk.

❛❛ Bau rokok, suara sepatu sneakers gesrek-gesrek di beton, dan tas sekolah yang pada diselempangin di bahu udah mulai terdengar di sekitar.

Taehoon ngelayap di railing tangga belakang sekolah, rokok di mulut, karton susu pisang di tangan, sambil nyempetin tangan di saku celana.

Dia lagi asik sama pikiran sendiri, sambil nunggu Jiseok yang ngumpet-ngumpet dari guru buat ngerokok bareng.

Tiba-tiba Minjae muncul nyelonong kayak habis sprint dari ujung kampus, rambutnya agak berantakan, kacamata berembun karena panasnya pagi itu.

"Wait. Wait. Gue ketinggalan apa nih? Gak ada yang ngasih tau gue, kenapa kalian berdua diem-dieman dari tadi?" Minjae nanya dengan wajah bingung, melirik ke Jiseok dan Taehoon yang udah ketauan lebih banyak ngobrol sejak masuk kelas.

Taehoon angkat alis, diem aja.

Minjae nunjuk-nunjuk ke dua mereka, curiga banget. "Kalian berdua dari tadi cuma bisik-bisik. Terus semalem gue nge chat di grup game, gak ada yang bales. Jangan bilang kalian pergi bareng!"

Jiseok gak ngeliat mereka, tapi udah jelas smirknya keliatan dari layar ponsel.

"Ya emang pergi bareng."

Minjae nyipitkan mata. "Ke mana?"

Jiseok nge-geser posisi duduk sambil nyantai. "Ke tempat yang gak cocok buat anak gereja kayak lo."

Minjae langsung ngangkat alis, kaget. "Orang tua gue yang emang gereja banget, bukan berarti gue hidup di batu."

Taehoon nyeletuk dengan suara kering, sambil nengok ke Minjae. "Bokap lo pendeta. Nyokap lo yang bagi-bagi pamflet anti pacaran."

"Itu cuma pas retret musim panas doang!" Minjae ngelawan.

Jiseok ketawa keras, "Iya, itu trauma buat orang-orang. Lo beruntung kita gak ajak, men. Tempat yang kita datengin? Nyokap lo bakal bilang itu Sodom."

Taehoon nyengir di balik susu pisangnya.

Minjae ngelipet tangannya. "Ceritain aja deh. Gue janji gak bakal ngomong ke siapa-siapa."

"Kalo lo doa buat kita, lo bakal jadi juru doanya," Jiseok jawab, masih tersenyum nakal. "Setiap malam. Pake air suci mungkin."

Minjae nyamperin mereka, ngerendahin suara kayak ngomong rahasia. "Itu club, kan?"

Age Gap (Seong Taehoon) ; On GoingWhere stories live. Discover now