• emosi bertumpuk

27 4 0
                                        

𖤐✰𖤐✰𖤐✰𖤐✰𖤐✰𖤐✰𖤐

Cahaya matahari pagi menyelinap lembut lewat jendela kaca es di dapur, memantulkan bayangan keemasan di lantai keramik yang mengilap. Aroma rumput laut panggang, nasi hangat, dan terong yang direbus dengan kecap masih mengambang di udara.

Taehoon keluar dari kamar dengan seragam sekolahnya kemeja putih rapi tertata masuk celana, celana gelap yang licin karena disetrika, dan leher yang agak kaku karena plester kulit yang dia tempel dengan hati-hati di bekas merah yang Yuna tinggalkan tadi malam.

Rambutnya masih sedikit basah karena mandi buru-buru.

Dia duduk di meja makan tanpa banyak bicara.

Ibunya menoleh dari arah kompor, keningnya mengernyit pelan.

"Leher kamu kenapa?"

Sebelum ibunya sempat mendekat, tangan Taehoon langsung menutup bagian lehernya.

"Ah... nyamuk, Bu. Rumahnya Jiseok tuh kayak hutan, sumpah. Nyamuk-nyamuk di sana kayak habis nge gym semua."

Nada suaranya dibuat pas... setengah ngeluh, setengah dramatis.

Ibunya sempat mempersempit mata, curiga, tapi akhirnya gak bertanya lebih.

Dia hanya menaruh piring di depan Taehoon nasi putih hangat, irisan telur gulung, ikan makarel panggang, dan sedikit kimchi.

Sarapan khas Korea, hangat dan menenangkan.

Taehoon langsung mengambil sumpitnya, bersyukur dapat distraksi.

Ayahnya yang duduk di seberang dan sudah setengah jalan dengan makanannya, bicara tanpa menoleh.

"Udah ada pengumuman lomba Taekwondo dari sekolah?"

Taehoon gak mengangkat wajahnya dari nasi.

"Belum. Kayaknya juga nggak bakal. Biasanya dibuka buat anak kelas dua, bukan kelas tiga."

"Itu alasan yang lemah," kata ayahnya sambil mengambil sepotong ikan. "Kamu punya bakat. Dari umur sepuluh udah bawa pulang medali. Tingkat distrik, regional. Dan sekarang apa? Mau berhenti gitu aja?"

Taehoon mengunyah lebih pelan. Lalu menelan.

"Aku nggak berhenti. Aku cuma... nggak ngejar itu lagi."

"Itu sama aja."

Nada ayahnya tegas. Nggak marah, tapi penuh kekecewaan yang pelan-pelan terasa berat.

"Kamu sembilan belas tahun, Taehoon. Sekarang waktunya kamu tentuin siapa kamu. Bukan kabur tiap kali dikasih tekanan."

Taehoon menaruh sumpitnya. Tatapannya lurus ke arah ayahnya.

"Mungkin aku nggak pengen jadi atlet."

Ibunya melirik keduanya dengan cemas, tapi tetap diam. Dia tahu ini percakapan yang harus selesai.

"Terus kamu pengen jadi apa?" tanya ayahnya. "Karena sekarang, kelihatannya kamu cuma pengen santai aja."

Rahang Taehoon mengencang, tapi suaranya tetap tenang.

"Aku pengen buru-buru lulus sekolah. Aku pengen cari tau sendiri arah hidup aku."

Ayahnya menyandarkan badan di kursi, menyilangkan tangan.

"Kamu tau berapa banyak orang tua yang pengen anaknya punya kesempatan kayak kamu? Beasiswa penuh ke universitas olahraga. Pelatih yang udah ngawasin kamu dari umur lima belas. Dan kamu pikir kamu bisa tinggal pergi?"

"Aku nggak tinggal pergi. Aku lagi mikir."

Ayahnya menghela napas lewat hidung.

"Mikir nggak bakal ngasih kamu makan pas umur dua puluh lima dan masih bingung mau ngapain."

Age Gap (Seong Taehoon) ; On GoingOù les histoires vivent. Découvrez maintenant