Prolog

74 7 0
                                        

Langit malam seakan terbelah.

Petir tak bersuara menyambar angkasa, menorehkan celah ungu kehijauan seperti luka terbuka di tubuh langit. Angin mendesir lembut, namun udara terasa berat, seolah dunia sedang menahan napas. Di sebuah kota kecil bernama Meridion-yang terletak di perbatasan dunia yang dikenal manusia-seorang pemuda bernama Dazi menatap langit dari jendela kamarnya.

Ia baru saja terbangun dari mimpi buruk yang membuat jantungnya berdegup tak karuan. Mimpi itu selalu sama: reruntuhan dunia, suara jeritan yang menggema, dan sesosok makhluk berbalut kegelapan yang menatap langsung ke dalam jiwanya. Setiap malam, mimpi itu seolah menariknya lebih dalam. Ia tak mengerti artinya, tapi ia tahu: itu bukan sekadar bunga tidur.

Dazi hidup biasa. Mungkin terlalu biasa. Tidak ada yang istimewa darinya-begitu katanya. Ia bekerja paruh waktu di sebuah toko buku, menyukai teh pahit, dan gemar membaca sejarah kuno meski tidak pernah percaya takdir atau legenda. Dunia baginya sederhana: bekerja, pulang, tidur. Ulangi.

Namun malam ini berbeda.

Celah di langit itu seperti mengundangnya. Dan saat jam menunjukkan pukul 02.34, cahaya dari celah itu melonjak turun, menghantam bumi tepat di tengah hutan tua yang terletak dua kilometer dari rumah Dazi. Tanpa sadar, tubuhnya bergerak. Seperti ada tarikan yang tak bisa dilawan. Ia mengambil jaket, melangkah ke luar tanpa alasan yang bisa dijelaskan.

Langkah demi langkah menuntunnya ke hutan, melewati jalan tanah dan dedaunan yang mulai menguning. Langit di atasnya semakin gelap, namun jalannya terang oleh sinar ungu yang merambat dari celah langit yang mulai menutup.

Lalu, ia melihatnya.

Seseorang berdiri di tengah hutan, di antara cahaya yang tersisa. Seorang perempuan.

Tubuhnya tegap, matanya tajam seperti petir yang dipaksa diam. Rambutnya sebahu, perak kebiruan, dan di pinggangnya tergantung sebilah pedang dengan ukiran kuno. Ia memandang Dazi seakan sudah mengenalnya seumur hidup.

"Kau datang," ucapnya pelan, tapi terdengar jelas. "Akhirnya."

Dazi berhenti melangkah. "Siapa kau?"

Perempuan itu tidak langsung menjawab. Ia hanya mendekat, mengamati wajah Dazi seolah memastikan sesuatu.

"Namaku Safira," katanya akhirnya. "Dan kau seharusnya tidak berada di sini."

"Lalu kenapa aku di sini?" Dazi balik bertanya, suaranya kering oleh ketegangan. "Dan kenapa kau menatapku seolah aku...?"

Safira terdiam. Matanya melirik ke arah langit yang kini mulai menutup sepenuhnya, meninggalkan hanya bintang-bintang yang biasa. "Karena dunia ini sedang retak. Dan entah bagaimana, kau adalah celah terakhirnya."

Mereka saling menatap. Waktu seolah berhenti.

Di kejauhan, angin membawa bisikan samar. Suara-suara yang tak berasal dari dunia ini.

Safira menarik napas dalam, lalu dengan lirih berkata, "Kalau kau ikut aku, tak ada jalan kembali. Tapi jika kau tetap di sini, semuanya akan hancur, bahkan sebelum kau mengerti kenapa."

Dan begitulah, di tengah malam yang sunyi, dalam cahaya yang memudar, kisah Dazi dimulai.

Ia tidak tahu bahwa langkah kecilnya malam itu adalah awal dari perang ribuan tahun yang terlupakan.

Perang yang akan mengguncang dunia.

Dan dirinya adalah pusat dari semuanya.

Langit dunia asing itu tetap pucat, seolah matahari tak pernah benar-benar terbit. Awan-awan abu bergerak malas, menyelimuti dunia yang sunyi dan tak dikenal. Dazi dan Safira melangkah perlahan menyusuri padang ilalang yang seperti tak berujung, dengan sisa kehangatan pertemuan mereka masih melekat dalam keheningan yang ganjil.

Aether in SilenceWhere stories live. Discover now