Langkah mereka meninggalkan perpustakaan yang kini hanya tinggal puing terdengar berat. Batu-batu retak berderak di bawah sepatu, sementara debu merah dari tanah gersang berterbangan dihembus angin kering. Cahaya matahari pagi memantul di celah-celah tembok yang runtuh, seakan mengingatkan mereka akan pertempuran semalam.
"Oh ya," Dazi memecah keheningan, suaranya berat. "Semalam... di belakang wanita itu ada banyak makhluk hitam. Ke mana mereka semua saat dia menyerang kita?" Alisnya mengerut rapat, menandakan rasa penasaran bercampur curiga.
"Itu yang ingin kubicarakan," sahut Tiara cepat, langkahnya terhenti. Dazi dan Safira otomatis menoleh, memperhatikan setiap kata yang keluar dari bibirnya. "Bayangan-bayangan itu... aneh. Mereka tidak terlihat seperti bawahannya. Lebih seperti... pengantar. Mereka mengantarkan wanita itu pada kita, lalu ketika dia kalah, mereka pergi begitu saja."
Ketiganya terdiam.
Dazi mengusap dagunya, Safira menyilangkan tangan di dada, sedangkan Tiara memegang kening, seakan mencoba merangkai potongan-potongan misteri menjadi gambaran utuh.
"Safira," Dazi akhirnya angkat bicara, memecah sunyi yang menekan. "Kekuatanmu... itu Lumina, kan?"
"Sepertinya iya. Memangnya kenapa?" Safira menjawab singkat, matanya tetap awas namun nada suaranya mencoba menutupi rasa penasarannya.
"Kita berdua adalah kunci untuk mengalahkan sumber kegelapan. Dalam buku yang kubaca, dia disebut Xeranoth." Nada Dazi rendah namun tegas. "Kalau begitu, kita harus menguasai kekuatan ini secepat mungkin."
Safira menatapnya dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. Dia tahu betul beban itu bukan sekadar ancaman bagi dirinya-tapi untuk seluruh dunia.
"Sejak tadi malam... rasanya aku sudah menguasai Lumina sepenuhnya. Lihat," ucapnya. Telapak tangannya memancarkan cahaya menyilaukan, membentuk pedang berkilau, lalu berubah menjadi tombak, kemudian panah, semuanya dalam satu tarikan napas.
Dazi menatapnya, matanya berbinar. "Kalau begitu, sekarang giliranku." Ia mengulurkan tangan, ekspresi wajahnya mantap. "Berdasarkan buku itu, aku bisa menyerap molekul di sekitar dan mengubahnya menjadi energi lain. Aku mulai dari yang paling mudah-O₂ di udara ini."
Segumpal bola hitam pekat muncul di telapak tangannya.
"Daz-!" Tiara belum sempat menyelesaikan ucapannya.
Dalam sekejap, dada mereka seperti diremas. Udara lenyap dari paru-paru. Dunia berputar. Tenggorokan mereka terasa terbakar, seolah tercekik di kedalaman laut.
"Le... paskan..." Tiara berhasil memaksa keluar kata itu, hampir tanpa suara.
Dazi buru-buru menghilangkan bola hitam tersebut. Seperti pecahnya bendungan, udara segar kembali menyerbu paru-paru mereka. Mereka terhuyung, terbatuk-batuk, mencoba merebut kembali napas yang hilang.
"Apa kau tidak bisa berpikir jernih... sekali saja, Dazi?" Tiara memandangnya dengan nada setengah marah, setengah lega.
Dazi tidak menjawab, hanya tersenyum tipis di sela napas yang masih terengah. "Buku itu benar. Kekuatan ini berfungsi. Kita hanya perlu mengikuti instruksinya... dan semuanya akan berjalan lancar."
Dia menoleh pada Safira. "Kau sudah membaca cara memanggil Lumina dalam skala besar?"
Safira menatap balik, sorot matanya tajam namun penuh keyakinan. Hanya anggukan pelan yang keluar darinya.
Dazi pun mengangguk. "Kalau begitu... kita siap."
Mereka terus melangkah, membicarakan isi buku yang sempat mereka baca. Tak satu pun dari mereka benar-benar menuntaskan isinya. Keterlambatan itu baru mereka sadari setelah berjalan cukup jauh. Lagipula, kembali ke perpustakaan bukanlah pilihan-tak ada jaminan buku-buku itu masih utuh setelah pertarungan semalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aether in Silence
FantasiLangit malam retak tanpa suara. Dunia berubah sejak saat itu. Dazi, seorang pemuda biasa dari kota kecil, terseret ke dalam dunia asing yang tak pernah ia kenal-tempat di mana cahaya dan bayangan saling memburu, dan setiap bisikan bisa membawa petak...
