Lampu neon berkedip di langit-langit klub, memantulkan warna-warna mencolok ke dalam gelas whiskey di tangan Brian. Malam itu terasa berat, terlalu ramai untuk seseorang yang baru saja memutuskan hubungan yang melelahkan. Dia tidak ingin berada di sini, tapi alkohol setidaknya bisa memberi jeda dari pikirannya yang berisik.
Dia menghembuskan napas panjang, menyesap minumannya tanpa niat untuk mabuk, hanya ingin sesuatu yang terasa pahit selain hidupnya sendiri. Namun, ketenangan yang dia harapkan tidak bertahan lama.
Di meja sebelahnya, suara pertengkaran mulai terdengar. Bukan sekadar adu argumen biasa-ini lebih intens, dengan kemarahan yang ditahan-tahan. Brian tidak ingin peduli. Bukan urusannya. Tapi jaraknya terlalu dekat untuk mengabaikan.
"Lo selalu kayak gini, ya?! Egois!"
Suara pria itu terdengar tajam, menusuk di antara dentuman musik.
"Salah gue apa?"
Suara yang lebih lembut, sedikit gemetar, membalas-tapi tetap terdengar tegar.
Brian melirik sekilas.
Jeremy.
Dia tidak mengenalnya, tapi bisa melihat bagaimana tubuh pria itu menegang. Matanya berkilat emosi yang campur aduk, namun rahangnya mengatup kuat, menahan sesuatu.
Lalu, tiba-tiba...
Plak!
Pukulan itu datang tanpa peringatan. Tamparan keras yang membuat kepala Jeremy sedikit terpelanting ke samping.
Brian meremas gelasnya. Dia bisa saja pura-pura tidak melihat. Tapi sialnya, dia tidak buta.
Jeremy tidak melawan. Tidak menangis, hanya menghela napas panjang seperti seseorang yang sudah terlalu lelah menghadapi semua ini.
Dan pria di depannya masih belum puas.
Brian tahu ada batasan antara ikut campur dan membiarkan, tapi saat tangan pria itu terangkat lagi, kali ini dengan botol di genggamannya, insting Brian mengambil alih.
Sebelum botol itu sempat mengenai Jeremy, Brian sudah berdiri. Tangannya mencengkeram pergelangan pria itu, menghentikan serangannya di udara.
"Sebaiknya lo turunin botol itu sebelum ada yang benar-benar terluka."
Suara Brian datar, tapi ada ancaman halus di sana.
Pria itu melotot, terkejut. Musik masih berdentum, orang-orang tetap menari, seolah dunia di meja ini bukan urusan mereka.
Jeremy menatap Brian, sorot matanya sulit ditebak. Antara terkejut, bingung, atau mungkin sedikit berharap. Brian hanya menatapnya sekilas sebelum kembali fokus pada pria yang tangannya masih dia tahan erat.
"Lepasin dia. Sekarang."
Untuk sesaat, udara terasa berat.
Lalu botol itu akhirnya diturunkan.
"Siapa lo?!"
Pria itu mendengus marah, matanya menatap Brian dengan kebencian yang menyala.
"Ngapain ikut campur, hah?!"
Brian tetap tenang, meskipun cengkeramannya di pergelangan pria itu belum juga dilepaskan.
"Gue cuma orang yang nggak suka lihat bajingan kayak lo mukulin orang lain di tempat umum."
Pria itu menggeram, menarik tangannya dengan kasar hingga terlepas dari genggaman Brian.
"Ini urusan gue sama dia!"
Dengan gerakan cepat, dia meraih tangan Jeremy, mencengkramnya kuat.
"Ayo, kita pergi."
Jeremy sedikit tersentak, tapi dia tidak berkata apa-apa. Rahangnya mengatup rapat, seperti menahan sesuatu-kemarahan, sakit hati, atau mungkin kepasrahan.
YOU ARE READING
Brian & Jeremy "Unscripted Extended Scene"
FanfictionMereka bilang setiap cerita punya jalannya sendiri. Tapi bagaimana jika ada adegan-adegan yang tidak pernah dituliskan? Unscripted, tanpa skenario. Potongan kisah yang tidak masuk ke naskah utama. Bagian yang tidak direncanakan, tapi tetap berarti. ...
