Hari ini Gita bangun lebih pagi dari biasanya, dandan setengah mati, dan bahkan menyetrika bajunya dua kali. Semuanya demi satu hal, wawancara kerja offline. Iya, tatap muka. Sudah lama dia tak melihat HRD—bahkan manusia lain selain orang rumahnya—secara 3D.
Begitu sampai di gedung perusahaan, Gita langsung duduk manis di ruang tunggu, deg-degan sambil mikir, "Kenapa di dunia ini ada yang namanya interview. Kenapa perekrutan karyawan tidak menggunakan games atau challage yang berhasil menyelesaikan teka teki silang selama 10 menit akan diterima kerja?"
saat giliran Gita wawancara, dia langsung disambut dengan senyum tipis dari HRD yang lebih mirip senyum default PowerPoint template—kaku.
Gita duduk tegak di kursi empuk berlapis kulit sintetis, mencoba menyesuaikan posisi supaya terlihat profesional tapi tetap santai. Di depannya, meja kerja mengkilap milik HRD memisahkan dua dunia, dunia formalitas dan dunia kegelisahan akut.
Sang recruiter membuka berkas, lalu mulai bertanya, "Ceritakan tentang diri kamu."
Gita tersenyum sopan. "Saya memiliki pengalaman di bidang hospitality dan komunikasi, dan saya terbiasa menangani beberapa peran sekaligus—dari administrasi hingga pembuatan konten promosi."
Suaranya tenang. Tatapannya mantap. Gesturnya stabil.
Tapi di dalam kepalanya "Aku tadi uda nutup jendela kamar nggak, ya? Kayaknya ada biji cabai nyelip di gigi. Aduh, kenapa AC-nya dingin banget, kayak suasana hidup gue akhir-akhir ini."
"Menurut kamu, kelebihan kamu apa?" Pertanyaan selanjutnya.
"Saya cepat beradaptasi dan bisa bekerja di bawah tekanan. Di pekerjaan sebelumnya saya terbiasa bekerja dalam shift yang fleksibel dan menangani berbagai jenis tamu, termasuk yang... unik."
Dalam hati "Ya ampun, kenapa gue tadi gak beli kopi dulu. Ngantuk banget. Harusnya pake deodoran yang satu lagi biar gak was-was begini."
Tapi tetap, dia menjawab semua pertanyaan dengan artikulasi bagus, intonasi pas, dan sesekali tersenyum seperti sudah dilatih di pelatihan 'how to fake confidence 101'.
Hingga sesi itu hampir selesai, Bu Mariska—si recruiter—bertanya, "Terakhir, kenapa kamu tertarik melamar di sini?"
Gita menjawab mantap,
"Karena saya merasa perusahaan ini punya nilai dan budaya kerja yang cocok dengan prinsip saya—terutama dalam hal inovasi dan pengembangan diri."
Batinnya sudah teriak, Ayo dong cepetan kelar, pengen nyeker, pengen rebahan, pengen buka Twitter, pengen hidup damai.
Gita keluar dari ruangan dengan senyum manis, padahal keringat dingin membanjiri punggungnya. Tapi hei, setidaknya dia berhasil terlihat meyakinkan—meski jiwanya tadi udah nyicil kabur lewat jendela. Setelah wawancara, Gita langsung kabur ke kafe langganan dan ketemuan sama tiga sahabatnya.
~
Yumi, Rosa, dan Farah sudah duduk di pojok cafe dengan meja penuh es kopi susu dan croissant kejunya Yumi yang selalu dibelah dua duluan "biar estetik waktu difoto."
Setelah Gita duduk dan menaruh tote bag-nya di kursi sebelah, mereka bertiga langsung menyorakinya.
"Cie... yang habis wawancara." Seru Rosa sambil tepuk tangan.
"Gimana, Git? HRD-nya serem nggak? Muka lo pucet tuh!" Celetuk Farah sambil menunjuk wajah Gita.
Gita menggaruk alisnya yang tidak gatal, "serem sih enggak, tapi gue-nya aja emang anti sosial, jadi baru semenit duduk uda kepengen pulang aja. But all under control kok, guys, gue bisa jawab semua pertanyaan... tapi sambil nahan napas."
ŞİMDİ OKUDUĞUN
Ancik-ancik Pucuking Eri
Genel KurguAncik-ancik pucuking eri: berpijak pada duri. Basagita Baskoro, 28 tahun, sarjana Sastra Jawa dengan idealisme yang sudah mulai lapuk, bekerja hampir setahun sebagai reservation agent di hotel bintang empat. Setiap hari ia menghadapi tamu rewel, jam...
