Sebulan setelah undangan dari Niki masuk, Gita mulai panik pelan-pelan. Dari semua teman SMP-nya, hanya Niki yang masih rutin bertukar kabar dengannya. Meski itu pun hanya sebatas ucapan, "Happy birthday yaa!" Ucapan yang dikirim setelah melihat Instagram Story Gita—yang berisi repost dari akun-akun orang lain yang benar-benar ingat tanggal ulang tahunnya. Tapi tetap saja, interaksi kecil itu terasa hangat. Seperti sisa api unggun di tengah pertemanan lama yang makin membeku.
Masalahnya dia nggak punya pasangan, dan nggak ada satu pun temen yang bisa diajak datang bareng. Tiga sahabatnya—Farah, Yumi, Rosa—semua enggak bisa nemenin. Sementara mengajak mantan rekan kerja terasa canggung—apalagi yang terakhir kali dia ajak ngobrol panjang justru ikut kena PHK barengan—pilihan lainnya pun tak banyak. Gita memang masih menyimpan beberapa kontak teman SMP, tapi semua sudah berubah jadi sekadar nama-nama asing di daftar WhatsApp yang hanya muncul pas Lebaran. Bertahun-tahun nggak ngobrol, rasanya aneh kalau tiba-tiba ngajak datang ke nikahan bareng. Nanti dikira mau jual asuransi.
"Aku dateng sendiri, gpp kali ya..." gumam Gita, sambil scroll galeri cari OOTD yang kira-kira bisa dipakai ke nikahan dan nggak bikin dia terlihat seperti sepupu jauh yang salah kostum.
Setelah tiga kali checkout-cancel di e-commerce, akhirnya dia beli satu set kebaya kartini modern yang agak overprice.
"Yaudah lah, sesekali," gumamnya, sambil mengklik checkout. "Yang penting nggak malu-maluin nanti kalau ketemu temen-temen lama."
Toh, dia pikir, kebaya ini bisa dipakai lagi. Atau paling tidak bisa dipajang di lemari dan dijadikan pengingat bahwa pada suatu masa, ia pernah berusaha tampil layak di tengah kehancuran ekonomi pribadinya.
~
Acara nikahan Niki digelar di taman hotel bintang lima yang didekor penuh mawar putih, lampu gantung kecil, dan lilin-lilin mengambang di danau buatan. Hangat dan elegan, tapi tetap terasa seperti Niki—nggak terlalu mewah, tapi niat.
Niki tampak cantik banget di pelaminan, bersanding dengan pria bule yang ramah auranya. Bukan tipe yang bikin tegang satu ruangan, tapi lebih seperti bule yang kalau ke Indonesia langsung jatuh cinta sama nasi goreng abang-abang dan mulai pakai kata "mantap" di setiap kalimat.
Pada akhirnya Gita tidak datang sendiri. Setelah melalui percakapan memalukan di meja makan pagi—dengan kopi, gorengan, dan ledekan bertubi-tubi dari kedua orang tua-nya—Gita akhirnya menyerah dan mengajak papanya jadi plus-one.
Pagi itu, Gita baru duduk lima menit sambil ngaduk kopi dan menatap kosong ke gorengan di piring, lalu nyeletuk, "Aku dateng sendiri aja kali ya ke nikahan Niki."
Mamanya langsung noleh cepat, "Yakin? Nanti dikira 'nganter catering', bukan tamu."
Papanya nyusul dari dapur sambil bawa cabai rawit dan nyaut, "Kalau kamu malu sendiri, Papa bisa nemenin. Tapi Papa mau duduk deket makanan ya, biar strategis."
Gita mencelos, "Jadi Papa niatnya nemenin aku kondangan atau mukbang di hotel bintang lima secara cuma-cuma?"
Mamanya malah makin semangat, "Ya gapapa, toh Papa kamu ganteng. Siapa tau dikira sugar daddy. Bisa bikin orang penasaran; itu pacarnya? Om-nya? Atau..."
"MAMA!" Gita mendelik, "Astaga Ma, ini bukan series Netflix super cliche yang nikah sama bos mafia!"
Papanya cuma senyum kalem sambil ngunyah tahu isi, "Papa sih, mau aja nemenin. Asal dapet kambing guling plus zuppa soup, Papa udah senang."
Setelah dibombardir ledekan satu keluarga dan iming-iming Papa mau traktir es krim sepulang acara, Gita akhirnya angkat tangan. "Oke, Papa ikut. Tapi disana jangan malu-maluin ya!"
YOU ARE READING
Ancik-ancik Pucuking Eri
General FictionAncik-ancik pucuking eri: berpijak pada duri. Basagita Baskoro, 28 tahun, sarjana Sastra Jawa dengan idealisme yang sudah mulai lapuk, bekerja hampir setahun sebagai reservation agent di hotel bintang empat. Setiap hari ia menghadapi tamu rewel, jam...
