Langit sore itu berwarna abu-abu keemasan, seolah menggambarkan isi kepala Aruna yang kacau dan berlapis-lapis. Ia duduk di dalam angkot menuju rumah, sesekali melihat ke luar jendela. Potongan memori yang muncul tadi siang masih terus memutar di pikirannya.
"Suatu hari nanti, kita akan ketemu lagi. Di bawah langit yang sama."
Kalimat itu bukan hanya sebuah deja vu—itu seperti pintu yang tiba-tiba terbuka ke masa lalu yang selama ini terkunci rapat. Tapi anehnya, Aruna tak bisa mengingat detail lain. Siapa anak laki-laki itu? Di mana dan kapan itu terjadi?
Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal.
> "Terima kasih sudah datang hari ini. Maaf kalau suasananya agak aneh. –R."
Aruna terdiam. Ia tidak memberi nomor teleponnya pada Raka, dan ia cukup yakin tak pernah menuliskannya di daftar kelompok. Dari mana Raka tahu?
Dia membalas pesan itu dengan singkat.
> "Kamu dapat nomorku dari mana?"
Tak ada balasan. Detik berganti menit, dan Aruna memutuskan untuk tidak terlalu dipikirkan. Tapi di dalam hatinya, ia tahu—ini bukan hal biasa.
---
Sesampainya di rumah, Aruna langsung masuk ke kamar tanpa sempat menjawab sapaan ibunya dari ruang tengah. Ia menutup pintu, membuka buku hariannya, dan mulai menulis cepat:
> Aku yakin aku pernah bertemu Raka sebelumnya. Tapi kapan? Di mana? Kenapa aku nggak bisa ingat wajahnya saat kecil? Lalu… kenapa dia tahu nomor teleponku?
Tiba-tiba ada suara ketukan dari jendela kamarnya. Aruna terlonjak kaget. Ia menoleh cepat.
Jendela kamarnya berada di lantai dua, dan sangat tidak mungkin ada orang bisa mengetuknya dari luar... kecuali seseorang naik ke atap.
Namun saat ia buka tirai jendela, tak ada siapa-siapa. Hanya bayangan malam dan suara jangkrik.
Nafasnya mulai tak beraturan. Aruna mengambil ponsel dan menyalakan senter, mencoba menyinari luar jendela. Tetap tak ada siapa pun. Tapi begitu ia menoleh ke balik mejanya, sebuah kertas kecil terselip di bawah pintu kamar.
Tangannya gemetar saat memungutnya. Di atas kertas itu, tertulis tulisan tangan halus:
> “Ingat perlahan. Kamu pernah melihat langit yang sama.”
---
Sementara itu, di tempat lain...
Raka duduk di depan laptopnya. Di layar, terbuka berbagai jendela program monitoring, beberapa akses file, dan catatan digital yang penuh kode.
Sebuah suara perempuan terdengar dari speaker kecil di pojok meja.
> “Aktivasi berjalan lancar. Subjek mulai menunjukkan respons awal.”
Raka menjawab tenang, “Langkah berikutnya: bangunkan ingatan dia. Perlahan, jangan paksa.”
> “Kamu yakin dia nggak akan takut kalau tahu semuanya?”
Raka menatap layar. Lalu, senyumnya muncul. Dingin, dan penuh teka-teki.
“Dia harus tahu. Karena masa depannya bergantung pada masa lalunya.”
---
Keesokan harinya di sekolah, Aruna merasa semua orang terlihat aneh. Bukan karena mereka benar-benar berubah, tapi karena pikirannya yang terlalu kacau.
Jihan menyambutnya seperti biasa, tapi Aruna hanya membalas seadanya. Ia masih teringat pesan dari Raka, kertas misterius, dan suara ketukan jendela yang tak masuk akal.
ESTÁS LEYENDO
LANGIT YANG SAMA
Misterio / SuspensoSINOPSIS : Sekumpulan remaja di sebuah SMA favorit di Yogyakarta tampak hidup dalam kenyamanan-sekolah elit, pergaulan gemerlap, dan keluarga terpandang. Tapi di balik semua itu, tersembunyi luka, rahasia, dan hubungan yang saling mengikat mereka ta...
