Langit Jerman menggantung kelabu, seakan ikut menyesuaikan suasana hati Azer. Di pantai kecil yang sepi itu, hanya ada deru ombak dan suara burung camar yang terdengar jauh. Azer duduk diam di atas batu besar, kedua tangannya bersilang di lutut, ponselnya sudah ia matikan sejak tadi.
Matanya menatap ke arah laut, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Ulang tahun keempat belas. Tidak ada pesan masuk, tidak ada suara pintu dibuka tiba-tiba dengan seseorang berteriak "Selamat ulang tahun!" Tidak ada kue, tidak ada lilin, dan yang paling terasa tidak ada siapa-siapa.
"Aku bahkan nggak tahu rasanya punya orang yang nanyain, 'Hari ini mau kemana?'," gumamnya pelan, suara nyaris hilang tertelan angin.
Ia menarik napas dalam-dalam, udara asin dari laut memenuhi paru-parunya, dingin tapi entah kenapa menenangkan. Tangan mungilnya menggenggam sebuah kalung kecil—hanya gantungan logam tua, satu-satunya barang yang pernah diberikan ibunya sebelum semuanya berubah. Bahkan nama ibunya sendiri sudah mulai samar dalam ingatan.
Waktu berlalu tanpa ia sadari. Ombak yang tadi setinggi pergelangan kaki kini mulai menyentuh lebih jauh. Azer tak bergeming, seolah ingin larut sepenuhnya dalam kehampaan.
Hingga sebuah suara pelan mengagetkannya.
"Kamu sering ke sini?"
Azer menoleh cepat. Seorang wanita berdiri di belakangnya, mengenakan mantel panjang warna abu gelap. Rambut hitamnya tertata rapi, tapi ada sedikit riak lembut seperti habis ditiup angin. Tatapannya hangat, tidak menghakimi.
Azer tidak langsung menjawab. Ia menatap wanita itu dengan waspada.
"Gak," akhirnya ia menjawab, nada suara khas anak remaja yang malas diajak bicara. "Cuma iseng dateng aja."
Wanita itu melangkah pelan, duduk tidak jauh darinya, tapi tetap memberi jarak. Ia tidak langsung bicara, hanya memandangi ombak bersamanya.
"Tempat ini cukup sepi. Cocok buat melamun," katanya akhirnya.
Azer diam lagi. Ia ingin wanita itu pergi. Tapi... entah kenapa, keheningan yang dibagi bersama ini terasa sedikit berbeda dari biasanya.
"Kamu gak takut anak kecil duduk sendirian di pantai?" tanya Azer sinis.
"Kamu gak kelihatan seperti anak kecil," jawab wanita itu dengan tenang. "Wajahmu mungkin muda, tapi matamu... terlalu dewasa buat anak empat belas tahun."
Azer menoleh tajam. "Stalker?"
Wanita itu terkekeh pelan. "Bukan. Aku cuma lewat, dan... kamu terlihat seperti butuh seseorang buat dengerin."
Azer memalingkan wajah. "Aku gak butuh siapa-siapa."
Hening lagi. Tapi kali ini bukan hening yang canggung. Lebih seperti... ruang kosong yang tidak diisi paksa.
"Apa kamu ulang tahun hari ini?" tanya wanita itu tiba-tiba.
Azer terdiam. Jantungnya seperti berhenti satu detik.
"Dari cara kamu duduk... kayak nunggu sesuatu yang gak datang."
Azer tak menjawab. Ia hanya mendesah pelan, lalu menatap lagi ke laut. Tapi wanita itu tidak menyerah.
"Namaku Calvienna Rheizenthal Arvedora," ucapnya lembut. "Orang-orang biasanya manggil aku Vien."
Azer melirik sekilas.
"Dan itu—" wanita itu menunjuk seorang pria yang berjalan pelan mendekat, mengenakan mantel panjang dan topi lebar. Pria itu terlihat tenang, sedikit berwibawa meski wajahnya ramah.
YOU ARE READING
My Way [Slow Up]
Teen FictionAzergantara Gresion Alaricksioz, seorang anak 13 tahun yang tumbuh dalam keluarga penuh rahasia dan kekerasan, terpaksa belajar bertahan hidup sejak kecil. Dibesarkan oleh seorang ayah yang brutal dan ibu yang penuh kebohongan, hidupnya jauh dari ka...
![My Way [Slow Up]](https://img.wattpad.com/cover/394271522-64-k995449.jpg)